Rabu, 20 Juli 2011

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 9)

"Aku ngerti satu hal," ucap Revo, setelah beberapa menit ia terdiam mendengar penjelasanku. "Ini semua konyol, La. Gimana kamu bisa bilang Elang itu orang yg paling, sedangkan kamu sendiri belum punya waktu utk ngeliat dunia luar selain Elang?"

Giliran aku yg terdiam sekarang. "Aku gak tau, Vo." kataku menerawang. "Aku hanya ngeliat dia, bahkan saat dia gak ada di samping aku. Dan aku tau ini konyol."

"Tapi kamu punya pilihan, La."

"Aku gak mau milih." ketusku tegas. "Berhentilah berharap ama aku, Vo. Pasti nanti bakal ada cewek yg ngebuat kamu jatuh cinta."

Jawaban Revo datar dan langsung. "Gak akan pernah."

"Tapi itu bukan sesuatu yg bisa kamu kendaliin, kan?" tanyaku skeptis.

Revo terdiam beberapa menit lagi. Tanpa sadar kami berjalan semakin lambat, nyaris tak bergerak sama sekali.

"Seharusnya emang gak," Revo mengakui. "Tapi aku gak akan ngeliat cewek lain selain kamu, La."

Aku menjatuhkan pandanganku ke batu-batu. Kita tak melangkah lagi.

"Mungkin sebaiknya aku pulang." desahku.

"Jangan!" protes Revo, terkejut karna harus berakhir seperti ini. "Maaf, aku gak akan kaya gitu lagi, aku cuma akan jadi temen kamu." lanjut Revo meminta maaf.

Aku mendesah. "Tapi kalo itu yg kamu pikirin..."

"Jangan khawatir," sergah Revo, tersenyum dgn keceriaan yg di buat-buat. "Aku bakal nyadar diri kok, siapa aku."

Aku merasa bersalah pada Revo. Aku memang menyayanginya tapi tak seperti yg ia bayangkan. Aku hanya ingin melihatnya bahagia, dan itu juga berlaku pada semua kluargaku. Tapi rupanya ia menginginkan lebih dari sekedar persahabatan.

****

Setelah kejadian itu, aku pulang.
Aku tertidur di ruang tamu di rumah. Hari sudah senja waktu aku terbangun, aku merasa linglung, tapi aku tau hari belum berganti esok. Dengan mata terpejam, aku meregangkan otot-ototku, dan berguling ke samping. Sedetik kemudian aku baru sadar, aku tidur di sofa, dan gerakan tadi membuatku jatuh ke lantai.

Lalu terdengar suara lembut dari balik pintu rumahku. "Maaf." itu suara Elang. " Aku gak bermaksud bangunin kamu."

Aku berdiri, mematung.
"Hmm...aku udah bangun dari tadi kok, cuma jatuh." kataku terbata-bata.

Elang mengulurkan tangannya, dan aku menyambutnya. Ia menarik tubuhku lebih dekat lagi padanya. Kedua lengan Elang melingkari tubuhku, mendekapku di dadanya. Bibirku mencari-cari, menjelajahi daerah sekitar kerongkongannya, ke dagunya, sampai aku akhirnya menemukan bibirnya.

Elang menciumku lembut sesaat, kemudian terkekeh.
"Padahal aku udah siap-siap di marahin ama kamu karna pergi gak pamit tadi pagi, tapi malah ini yg aku dapet. Seharusnya aku lebih sering buat kamu marah."

"Kasih aku satu menit utk siap-siap," godaku, menciumnya lagi.

"Akan aku tunggu selama yg kamu mau," bisik Elang di bibirku. Jari-jarinya menyusup kedalam rambutku.

Nafasku mulai memburu. Tangan Elang melingkari sikuku, bergerak lambat menuruni lengan, melintasi rusukdan terus ke pinggang, menyusuri pinggul dan turun ke kaki, memeluk lutut. Ia berhenti disana, tangannya melingkari tungkaiku.
Aku berhenti bernafas, dan bibir Elang mulai menyusuri leherku. Hangat dan lembut.

Namun tiba-tiba saja, ponselku berdering dan itu mengejutkan kita berdua.

"Matikan saja." perintah Elang langsung menyambar ponselku dan menekan tombol off.

Lalu lidahnya menjelajahi lekuk bibirku dgn lembut. Kepalaku berputar cepat, nafasku memburu. Ini di luar kuasa, aku tak tahan lagi.

Elang mendesah, dan menghentikan semuanya, lalu berkata "Aku sudah melampaui batas..."

Dan kita tertawa.


*****
Tetap Elang Walau Ada Yang Lain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar