Rabu, 20 Juli 2011

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 3)

 Sekarang, setiap malam aku memang selalu bermimpi buruk. Mimpiku selalu sama, karna selalu mimpi buruk yg sama. Tapi mimpi itu tak pernah gagal membuat aku ngeri, dan baru berakhir setelah aku menjerit terbangun.
Mimpi burukku mungkin bahkan tidak menakutkan bagi orang lain. Tidak ada hantu, setan, atau sebangsanya.

Hanya ada kehampaan. Hanya pepohonan berlumut membentang sejauh mata memandang, begitu sunyi hingga kesunyian itu menekan gendang telingaku. Suasana gelap, seperti senja di hari berawan, hanya ada seberkas cahaya tertinggal utk melihat bahwa tidak ada yg bisa di lihat. Aku bergegas menembus keremangan tanpa jalan setapak, selalu mencari, mencari, mencari, makin lama makin panik sementara waktu terus berjalan, berusaha bergerak lebih cepat, meski kecepatan membuat kakiku kikuk... Kemudian aku akan sampai pada satu titik dlm mimpiku, dan aku bisa merasakannya datang sekarang, tapi rasanya aku tak pernah bisa menggugah diriku utk bangun sebelum saat itu tiba, saat aku tidak bisa mengingat apa yg sebenarnya ku cari. Waktu aku sadar tidak ada apa-apa yg bisa kucari, dan tidak ada apa-apa yg bisa ditemukan. Bahwa tak pernah ada apa-apa, dan tidak akan pernaha ada apa-apa lagi utkku... tidak ada apa-apa kecuali kehampaan...

Biasanya saat itulah teriakanku di mulai.
Mimpi buruk itu menggayuti pikiranku dan membuatku memikirkan hal-hal yg akan membuat aku sedih. Aku tak ingin mengingat Elang. Bahkan saat aku bergidik dan menepisa bayangan-bayangan itu, aku merasa air mataku merebak dan mulai menyarapi tubir lubang di dadaku. Dan ku peluk tubuhku sendiri agar tetap utuh.

"Nantinya aka terasa seolah-olah aku tak pernah ada."
Kata-kata itu berkelebat di benakku, tak lagi terdengar jelas dan sempurna seperti halusinasi semalam. Sekarang itu hanya kata-kata, tanpa suara, seperti tulisan yg tercetak di buku. Hanya kata-kata, tapi kata-kata itu mengoyak lubang di dadaku hingga terbuka lebar, perih.

Aku bertanya-tanya berapa lama ini akan berlangsung. Mungkin suatu saat nanti, bertahun-tahun dari sekarang, bila kepedihan itu mereda hingga ke tahap aku sanggup menanggungnya, aku akan bisa mengenang kembali datu bulan terpendek yg akan slalu menjadi masa terindah dlm hidupku. Dan, jika kepedihan ini bisa cukup mereda hingga membuatku mampu berbuat begitu, aku yakin aku akan merasa bersyukur atas waktu yg pernah dia berikan padaku. Lebih dari yg ku minta, lebih dari yg pantas kuterima.

Tapi bagaimana jika lubang ini tak pernah membaik?
Bila tubirnya yg basah tak pernah sembuh? Bila kerusakannya permanen dan tak bisa di perbaiki lagi?

Ku dekap diriku lebih erat lagi. "Nantinya akan terasa seolah-olah aku tak pernah ada," pikirku merana. Janji yg sungguh tolol dan mustahil di tepati! Seolah-olah dia tak pernah ada? Itu gila namanya. Janji yg takkan pernah bisa dia tepati yg dilanggar segera setelah dia membuatnya.

Ini membuatku merasa tolol, karna berpikir utk slalu menepati janjiku. Dimana logisnya, menepati kesepakatan yg sudah dilanggar pihak satunya? Siapa yg peduli kalau aku jatuh dan terpuruk tanpa dia disini? Tak ada alasan menghindar dari kesedihan dan keterpurukan jiwa, tak ada alasan mengapa aku tak boleh bersedih.

Aku tertawa meski pikirku itu tidak lucu, masih megap-megap menghirup udara. Humor tidak lucu itu mengalihkan perhatianku, dan meredakan kepedihan hatiku. Nafasku mulai mudah, dan aku bisa duduk bersandar ke kursi. Walaupun pagi ini cuaca masih dingin, tapi dahiku basah oleh keringat.


*****
Masih Tentang Jejak Sang Elang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar