Rabu, 20 Juli 2011

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 4)

Ku tunggu perasaan kebas itu kembali, atau kepedihan itu. Karna kepedihan itu pasti datang. Aku sudah melanggar aturanku sendiri. Alih-alih menghindar dari kenangan, aku malah maju dan menyapanya. Ada harga yg harus ku bayar, aku yakin itu. Aku merasa terlalu sadar, dan itu membuatku takut.

Tapi kelegaan masih merupakan emosi terkuat dalam diriku, kelegaan yg berasal dari lubuk hatiku yg terdalam.

Meski berjuang keras utk tidak memikirkan dia, aku tidak berjuang utk melupakannya. Aku khawatir, di larut malam saat kelelahan kurang tidur mematahkan pertahananku, semua itu berangsur-angsur lenyap. Bahwa pikiranku berlubang-lubang seperti saringan, dan bahwa suatu saat nanti aku tak lagi bisa mengingat warna jejaknya dgn tepat, warna indah dari pelangi itu.
Aku tidak bisa memikirkannya, tapi aku harus mengingatnya.
Karna tinggal datu hal yg perlu ku yakini agar aku bisa hidup, aku harus tau dia ada. Itu saja. Yg lain-lain masih bisa ku tahan. Pokoknya asal dia ada.

Itulah sebabnya aku merasa terperangkap disini, di hubungan ini daripada sebelumnya. Seharusnya itu bukan masalah, karna tidak akan kembali lagi seperti dulu, tapi rasa ini...
Tapi kalau aku pergi, menghilang, bagaimama aku bisa yakin dia nyata? Dimana aku tidak pernah bisa membayangkan dia, keyakinan itu akan memudar... dan itu tidak bisa ku terima.
Terlarang utk di ingat, takut utk di lupakan, sungguh sulit menjalaninya.

Aku menyerah pada kepedihan.
Hal ini benar-benar melumpuhkan, sensasi bahwa sebuah lubang besar menganga di dadaku, merenggut semua organ pentingku, dan meninggalkan bekas luka yg masih basah dan berdarah di sekelilingnya, yg masih tetap berdenyut nyeri dan mengeluarkan darah meski waktu terus berjalan. Secara rasional aku tau paru-paruku masih utuh, namun aku megap-megap menghirup udara dan kepalaku berputar seolah-olah segenap usahaku sia-sia. Jantungku juga pasti masih berdetak, tapi aku tak bisa mendengar detaknya di telingaku, tanganku terasa biru kedinginan.. Aku meringkuk seperti bayi, memeluk dada seperti memegangi diriku agar tidak hancur berantakan. Aku berusaha menggapai perasaan kelu dan lumpuh, penyangkalanku, tapi perasaan itu meninggalkanku.

Meski begitu, kudapati bahwa ternyata aku dapat bertahan. Aku sadar, aku merasakn kepedihan itu, perasaan kehilangan, tapi semua itu masih bisa ku tahan. Aku bisa melewatinya. Walaupun rasanya kepedihan itu tidak melemah seiring berjalannya waktu, tapi aku jadi semakin kuat menahannya.

Apapun yg terjadi saat ini, itu tlah membangunkanku.
Utk pertama kali dalam kurun waktu lama, aku tidak tau harus mengharapkan apa...


****
Bertahan Diantara Bias Pelangi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar