Rabu, 20 Juli 2011

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 5)

Hari ini utk pertama kalinya setelah sekian lama, aku bertemu lagi dgn Refo. Aku merasakan dorongan antusiasme yg tidak biasa begitu melihat senyumnya. Sadarlah aku senang bertemu dengannya. Kenyataan itu mengejutkanku.

Aku membalas senyumnya, dan sesuatu terbetik dalam pikiranku bagaikan dua keping puzzle yg menyatu. Aku sudah lupa betapa aku sangat menyukai Refo Pratama.

Refo berhenti beberapa meter dariku, dan aku mendongak menatapnya dgn terkejut, kepalaku menengadah jauh ke belakang., dia semakin jangkung.
Menghabiskan waktu dengannya sungguh luar biasa, aku jauh lebih baik, paling tidak jauh lebih normal sebagai manusia. Aku menyadari emosi itu, rasanya ingin terus bersamanya.

Aku seperti menemukan obat yg dapat memuaskan kecanduanku dari kepedihan yg teramat ini.

Sore itu berlalu begitu cepat, dan aku kembali seperti semula. Aku merasakan sisa-sisa perasaan senang aneh yg ku rasakan sore tadi menyusut dari dalam diriku, di gantikan perasaan takut memikirkan apa yg akan ku hadapi sekarang.

Aku tidak kebas lagi. Malam ini akan, tidak diragukan lagi, sama mengerikannya dgn semalam. Aku berbaring di tempat tidur dan bergelung rapat-rapat, menanti datangnya bayangan tentang Elang. Ku pejamkan mataku erat-erat dan....tahu-tahu hari sudah pagi.

Ku pandangi cahaya keperakan pucat yg menerobos jendela kamarku, terperangah.
Untuk pertama kali semenjak Elang pergi meninggalkanku, aku bisa tidur tanpa bermimpi atau menjerit. Entah emosi mana yg lebih kuat, lega ataukah shock.

Aku berbaring diam di tempat tidurku selama beberapa menit, menunggu perasaan itu datang kembali. Karna pasti ada yg datang. Kalau bukan kepedihan, maka mati rasa. Aku menunghu, tapi tak terjadi apa-apa. Aku merasa lebih bugar daripada yg ku rasakan beberapa bulan belakangan ini.

Aku tak yakin ini bakal bertahan. Rasanya seperti berdiri di tubir yg licin dan berbahaya, dan bergerak sedikit saja pasti bakal membuatku tergelincir. Mengedarkan pandangan ke sekeliling kamarku dgn mata tiba-tiba jernih, menyadari betapa aneh kehilatannya, terlalu resik, seolah-olah aku tidak tinggal disini lama sekali, benar-benar berbahaya. Separah itukah aku ketika Elang pergi? Benar-benar seperti mayat hidup.

Ku tepis pikiran itu dari benakku, dan berkonsentrasi pada fakta bahwa aku akan bertemu Refo lagi hari ini. Pikiran itu membuatku nyaris merasa....penuh harapan. Mungkin akan sama seperti kemaren. Mungkin....tapi aku tak yakin ini akan bertahan juga. Tidak yakin hari ini akan sama seperti kemarin, begitu mudah. Aku tidak akan menyiapkan diri utk kekecewaan seperti itu.

***

Itu Refo. Ia berjalan menghampiriku, dan tersenyum. Dgn enteng, tanpa harus di komando lagi, bibirku merekah membentuk senyuman. Perasaan hangat yg aneh menggelegak menaiki kerongkonganku.

Hari ini lumayan aneh. Aku menikmatinya. Awalnya aku penasaran apakah itu hanya aftershock setelah kehilangan perasaan kebas, tapi menurutku itu bukan penjelasaan yg cukup masuk akal.

Aku mulai berpikir bahwa penyebab terbesarnya adalah Refo. Bukan hanya ia selalu senang bertemu denganku, atau bahwa ia tidak diam-diam melirikku dari sudut matanya, menunggu aku melakukan sesuatu yg bisa membuatku gila atau depresi. Sama sekali tak ada hubungannya denganku.

Penyebabnya adalah Refo sendiri. Pada dasarnya Refo memang periang, dan sifat periang itu terbawa dalam dirinya seperti aura, menularkannya pada siapapun yg kebetulan di dekatnya. Seperti bumi yg mengelilingi matahari, setiap kali ada orang dlm jangkauan gravitasinya, Refo membuat mereka merasa hangay. Hal yg alamiah, bagian dari dirinya yg sesungguhnya. Tak heran aku begitu bersemangat ingin bertemu dengannya.

Refo benar-benar anugrah dari para dewa, ku rasa begitulah..


*****
Memudarnya Jejak Langkah Elang Dan Pelanginya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar