Senin, 25 Juli 2011

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 13)

Akhirnya Elang mendongak ketika melihat aku bangkit dari kursiku. Matanya mencari-cari mataku, penuh dgn pertanyaan sendiri.

"Kamu udah mau pulang?" tanyanya, seperti tak terjadi apapun.

Aku hanya mengangguk, terlalu marah utk berbicara.
Pelayan itu muncul seolah telah di panggil, atau mungkin dia memperhatikan kita sejak tadi.

"Jadi gimana?" ia bertanya pada Elang.

"Kita udah selesai, mau bayar. Makasih." suara Elang tenang namun agak serak, masih tegang oleh obrolan tadi.

"Oh, oke," ujar pelayan itu terbata-bata. "Ini." ia mengeluarka folder kulit kecil dari saku depan celemek hitamnya dan menyerahkannya pada Elang.

Ternyata Elang sudah menyiapkan uangnya. Ia menyelipkan ke folder itu dan menyerahkannya lagi pd si pelayan.
"Simpen aja kembaliannya." Elang tersenyum, lalu bangkit dan menahan tanganku utk tidak pergi lebih dulu.

Lagi-lagi pelayan itu tersenyum menggoda pd Elang. "Semoga harimu indah."

Elang tidak berpaling dariku ketika mengucapkan terima kasih padanya. Aku melepaskan tangannya dariku dan pergi keluar lebih dulu. Tentu saja Elang dgn mudah menyusulku. Dan sesuatu menarik jaketku hingga aku tertahan.

"Kamu pikir kamu mau kemana?" tanya Elang marah. Di cengkramnya jaketku hanya dgn satu tangan.

Aku kesal. "Pulang." cetusku.

"Apa tadi kamu pergi sendirian? Kamu pikir aku bakal ngebiarin kamu pulang sendirian, gitu? Dalam keadaan kmu yg kaya gini?" suara Elang masih marah.

"Keadaan aku baik-baik aja," pekikku. "Lepasin aku!"

Elang tak menghiraukanku. Sekarang ia menarikku ke motornya, lebih tepatnya menarik jaketku. Hanya itu yg bisa aku lakukan agar tidak terjengkang ke belakang. Kalaupun aku jatuh, barangkali ia akan tetap menyeretku.

"Lepasin!" desakku. Elang mengabaikanku. Aku berjalan terseret-seret sepanjang tempat parkir hingga kita sampai di samping motor Elang. Lalu akhirnya Elang melepaskanku.

"Kamu kasar banget!" gerutuku kesal.

Elang menaiki motornya, "Naik, La." cuma itu reaksinya.

Aku tak menjawab dan akupun tak bergerak.

"Apa aku harus nyeret kamu lagi?" ancamnya.

Aku mencoba mengumpulkan sisa-sisa harga diriku seraya naik ke motornya. "Ini bener-bener keterlaluan." desahku.

Elang tak menyahut. Dan ia langsung menyalakan mesin motornya, kamipun menerobos jalanan.

Sesampainya di rumahku, aku bergesas turun dari motornya. Dan langsung pergi tanpa kata, tapi Elang lagi-lagi menahan tanganku.

"Maafin aku yah." Elang meminta maaf, kelihatannya tulus.

Aku tak bersuara, sengaja tak menyahutnya.

"Aku pergi, kalo ada apa-apa, kamu telpon aku aja." Elang berbicara lagi, sepertinya mengerti akan diamku. "Aku tau, kamu marah ama aku."

"Aku masuk." pamitku padanya, tak menghiraukan semua omongannya.

Dan kami berpisah dlm keadaan seperti itu.


****

Aku menangis sejadi-jadinya ketika aku memasuki kamarku. Sungguh keterlaluan dia. Memangnya dia pikir dia itu siapa? Seenaknya saja menyeretku seperti itu. Aku tak kan pernah menemuinya lagi. Toh, aku sudah tau kalau keadaan akan tetap seperti ini, tak ada yg berubah. Aku tak punya arti dlm hidupnya. Ia hanya teman, dan seharusnya aku yg sadar diri siapa aku utknya?
Dan mulai sekarang, aku hanya akan bergerak di ruang batasan hidupku sendiri.


******
Keputusan Pelangi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar