Kamis, 21 Juli 2011

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 11)

Keesokan paginya, setelah semua pengakuan Elang kemaren sore itu, sulit berdebat dgn bagian diriku yg yakin bahwa kemaren adalah mimpi. Logika tak berpihak padaku, ataupun akal sehat. Aku bergantung pada bagian yg tak mungkin cuma khayalanku.

Cuaca pagi ini sangat berkabut, lebih dari biasanya, udara nyaris tertutup kabut. Embun sedingin es menerpa kulit leher dan wajahku, ketika aku baru saja keluar dari rumah.

Aku tak tau darimana datangnya, tapi tiba-tiba Elang sudah ada disana, di halaman depan rumahku, menungguku.

"Mau aku anter?" tanyanya, tersenyum melihat ekspresiku berkat kejutan yg di berikannya pagi ini. Ada keraguan dlm suaranya. Ia benar-benar memberiku pilihan, aku bebas menolak, dan sebagian dari dirinya berharap begitu. Harapan yg sia-sia.

"Iya, makasih," kataku, berusaha tetap tenang. "Kita naik apa?" aku menyadari bahwa Elang tak membawa mobilnya.

"Hmm...naik motor," sahutnya terbata-bata, ia melirik utk melihat ekspresiku.

"Oh." aku hanya mendesah. Ku lihat motor sport-nya terparkir di pinggir jalan raya.

"Nih, aku bawa jaket buat kamu. Aku gak mau kamu sakit atau apa gitu." suaranya hati-hati, menyodorkan jaket berwarna cream muda padaku.

Aku sendiri melihat ia tak mengenakan jaket, hanya kaos rajut lengan panjang berkerah V warna abu-abu muda.
"Aku gak selemah itu, tau." kataku, tapi ku ambil jaket itu, mendorong lenganku ke lengan jaket yg kelewat panjang, dan aroma tubuhnya melekat sempurna di jaket itu.

"Masa sih?" ia meragukan, suaranya sangat pelan bernada sedikit mengejek, tapi aku tak menghiraukannya.

Kami mengemudi melewati jalanan yg berkabut menuju kafetaria terdekat utk ssrapan. Ia melajukan motornya sangat cepat, terasa canggung. Setidaknya aku merasa begitu, ketika aku harus melingkarkan lenganku ke perutnya.
Ketika kita sampai, ia mempersilakanku duduk. Kita memilih meja paling sudut di kafe itu.

Keadaan seperti ini membuat lidahku kelu. Aku menunggunya memulai pembicaraan.

Elang nyengir padaku. " Apa hari ini gak ada rentetan pertanyaan aneh?"

"Apa pertanyaan-pertanyaanku ganggu kamu?" aku berbalik tanya.

"Gak juga, tapi reaksi kamu itu yg aneh." Elang kelihatan bergurau, tapi aku tak yakin.

Aku cemberut, "Aku konyol yah?"

"Gak, itu masalahnya. Kamu cuma diem, tenang banget keliatannya. Aku kadang mikir, kmu tuh mikirin apa sih?"

"Aku slalu ngomong apa yg aku pikirin."

"Kamu mengeditnya," tuduhnya.

"Gak terlalu banyak kok."

"Tapi cukup ngebuat aku gila."

"Salah sendiri, kenapa kamu pengen tau terus." Aku menjulurkan lidahku berniat mengejeknya.

Elang terlihat sedikit kesal.

"Aku boleh tanya gak?" kataku berlagak polos, karna aku tau Elang kehilangan mood sedikit.

"Tanya aja." jawabnya singkat tanpa ekspresi.

"Kalo kita lagi naik pesawat, terus pilot pesawat yg kita naikin tuh teler, mabok berat. Hmm...apa yg bakal kamu lakuin?" tanyaku tersenyum jail.

"Gampang," sahutnya enteng. " Aku yg bakal nerbangin pesawatnya."

Aku cemberut lagi, tentu saja ia bisa melakukan itu. "Kalo kotak bahan bakarnya meledak pas kamu yg nerbangin pesawatnya, gimana?" tanyaku tak mau kalah.

"Hmmm...." Elang berpikir, tapi hanya beberapa detik saja. "Aku bakal ngebiarin pesawatnya mendarat perlahan dulu, terus aku ama kamu dobrak pintu daruratnya, kalo pesawatnya udah mau nyentuh tanah, kita pura-pura jalan tersaruk-saruk, seolah-olah cuma kita korban yg selamat." jelas Elang panjang, dan di akhir kalimatnya, ia tertawa.

"Huhh...sebel ah, kamu."

"Kenapa? Kalah yah?" ucap Elang mengejekku.

"Gak tau ah, aku laper. Cepetan pesen makanannya sih." gerutuku.

"Kamu lucu." katanya, seraya membelai rambutku.


*****
Indahnya Pelangi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar