Waktupun berlalu. Bahkan saat rasanya mustahil, waktu tetap terus berjalan. Bahkan di saat setiap detik pergerakan jarum jam terasa menyakitkan, bagaikan denyut nadi di balik luka memar. Waktu seakan berlalu di jalan yg tidak rata, bergejolak dan diseret-seret, namun terus berjalan. Bahkan bagiku.
Sudah hampir 4 bulan setelah kejadian itu, Elang tak pernah menemuiku lagi. Oke, aku merasa amat sangat kehilangan, tentu saja. Tapi ku tau, itu tak kan merubah keadaan. Aku tak mungkin menemuinya, aku terlalu pungecut utk melakukan hal itu.
Dan aku selalu berusaha utk menghindar dari waktu senggang.
Kosong.
Hampa.
Tidak pernah ada apa-apa lagi utkku.
Perasaan bersalah menggayuti pikiranku. Oke, kali ini Elang pergi karna salahku.
***
Hari ini aku berencana ke kota tua, hanya utk menghilangkan penat. Kota ini adalah daya tarik yg indah bagi wisatawan. Meskipun hanya kota kecil, namun tempatnya lebih tertata dan menarik di banding kota-kota yg lain.
Hari telah senja, tiba-tiba langit mengelap. Aku mendapati diriku berjalan di trotoar yg melintasi bagian belakang gudang-gudang yg suram, masing-masing dilengkapi pintu utk bongkar muat truk, terkunci pada malam hari. Sisi selatan jalan tidak bertrotoar, hanya pagar kawat dgn kawat berduri utk melindungi sejenis tempat penyimpanan mesin. Sepertinya aku sampai di bagian kota yg bukan diperuntukan utk pengunjung. Aku tersadar hari mulai gelap, awan-awan akhirnya berkumpul lagi di langit barat, membuat matahari terbenam lebih awal. Langit timur masih bersih tapi mulai kelabu dgn semburat merah jambu dan jingga. Dan dingin yg kurasakan membuatku bersedekap erat-erat. Lalu sebuah mobil melintas di depanku, dan jalanan kembali kosong.
Tapi ketika aku menoleh, aku terkejut menyadari dua cowok diam-diam mengendap-endap enam meter dibelakangku. Aku langsung membuang muka dan mempercepat langkahku. Perasaan merinding yg tak ada hubungannya dgn cuaca membuatku gemetar lagi. Tak kecilku yg kuselempangkan di tubuhku, ku peluk erat supaya tidak bisa di jambret. Tapi suara ketakutan di sudut benakku mengingatkanku, mereka mungkin saja lebih dari sekedar mencuri.
Aku terus berjalan secepat mungkin tanpa benar-benar berlari, lalu sebuah mobil biru muncul dar arah yg berlawanan.
Aku dijebak.
Aku berhenti sedetik yg rasanya lama sekali. Kemudian aku berbalik dan berlari ke sisi jalan lain. Dgn hati ciut aku menyadari usahaku sia-sia. Suara langkah di belakangku semakin jelas sekarang.
"Disitu kamu ternyata, cantik." suara gelegar cowok bertubuh kekar itu memecahkan keheningan dan menbuatku kaget.
"Ya.." suara keras menyahut dari belakangku, membuatku terperanjat sekali lagi ketika mencoba berlari. "Kita cuma ambil jalan pintas."
"Jangan dekati aku." aku mengingatkan dgn suara yg seharusnya lantang dan berani. Tapi aku benar-benar ketakutan hingga tak ada suara yg keluar.
"Jangan gitu dong, sayang." seru cowok itu, dan suara tawa liar terdengar lagi di belakangku.
Namun ketika cowok-cowok itu mulai berjalang mendekatiku, sekonyong-konyong lampu sorot muncul dari sudut jalan, dan sebuah mobil nyaris menabrak si kekar, memaksanya melompat ke trotoar. Aku berlari ke tengah jalan, mobil ini akan berhenti atau menabrakku. Tapi mobil itu tak di sangka-sangka menukik, lalu berhenti dgn salah satu pintu terbuka hanya beberapa jengkal dariku.
"Masuk," terdengar suara gusar memerintahku, suara yg sangat ku kenal, itu suara milik Elang.
Aku melompat masuk, membaning pintunya hingga tertutup.
Sungguh mengagumkan betapa cepatnya cekaman rasa takut itu lenyap, hanya sedetik setelah aku mendengar suaranya.
Dan kami meluncur dgn cepat meninggalkan tempat itu.
*****
Elang Di Kota Tua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar