Rabu, 20 Juli 2011

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 10)

Revo sakit, dan aku harus menemuinya sesegera mungkin.
Ku pacu diriku menerobos hujan di pagi ini hanya utk menemui Revo, ia terbaring lesu di ranjangnya saat aku menemuinya. Wajahnya yg slalu ceria, kini tampak pucat.

"Hai," sapaku setengah berbisik pada Revo, namun ia tidak menyahut. "Gimana perasaan kamu, Vo?" gumamku. Pertanyaanku benar-benar bodoh.

"Agak pusing. Mungkin karna pengaruh obat kali." jawab Revo, ia tersenyum mengejek.

Aku mengigit bibir. Entah bagaimana aku bisa menuntaskan masalah ini.
Humor kecut dari wajah Revo lenyap, dan sorot matanya menghangat. Keningnya berkerut, seperti khawatir.

"Kamu baik-baik aja, La?" tanyanya, kedengarannya prihatin.

"Aku?" Ku pandangi dia. "Emangnya aku kenapa?"

"Hmm...maksud aku, tentang Elang. Apa dia marah kalo kamu dateng kesini? Oke, aku tau dia gak suka aku, apa lagi kalo dia tau aku sayang ama kamu, La. Dia pasti ngamuk. Maafin aku yah, La. Aku gak ada maksud ngerusak hubungan kalian..."

Baru beberapa saat kemudian aku mengerti. Revo mengoceh terus, semakin lama semakin canggung, sampai aku memahami apa yg di katakannya. Lalu aku buru-buru meyakinkannya.

"Gak, gak kok! Aku baik-baik aja. Terlalu baik malahan. Dia gak ngamuk kok." Aku mendesah, "Kalo aja kaya gitu."

Mata Revo membelalak kaget. Lalu ia mendesah. "Dia pintar memanipulasi orang ternyata."

"Elang gak memanipulasi aku! Lagipula dia gak punya hak marah ama aku, kalo aja kamu tau, kita gak balikan tau!"

"Jadi kamu gak pacaran lagi ama dia?" seru Revo tampak gembira.

Aku menggelengkan kepalaku.

"Kenapa gak, La?" tanya Revo lebih tenang dari sebelumnya.

"Karna aku dateng kesini bukan utk ngebahas masalah itu ama kamu!" cetusku tajam.

***

Pagi yg cerah, walaupun bukan suasana hatiku yg ceria. Tapi setidaknya sedikit perasaan terkendali, perasaan bisa menerima.
Aku tau kejadian kemarin sangat melukai hati Revo, dan entah mengapa aku ikut merasakannya. Aku ingin dia bahagia, tapi aku malah menyakitinya.

Dan beberapa menit saja, Elang datang dgn sorot mata yg was-was dan khawatir.

"Hai." sapaku. Suaraku serak.

Elang tidak menyahut. Ia menatapku, menunggu aku menangis, mungkin.

" Aku gak papa, aku baik-baik aja." janjiku.

Elang merengkuh kedua pipiku. "Kamu yakin? Aku gak pernah liat kamu sesedih itu..." suaranya pecah saat mengucapkan kata terakhir.

Tapi aku sudah pernah mengalami yg lebih sedih daripada ini.
Ku sentuh bibirnya. "Iya."

"Gak tau lah..." kening Elang berkerut. "Aku tau, kamu sayang ama Revo. Kenapa kamu nolak dia, kalo itu nyakitin kamu juga?"

"Elang, aku tau dgn siapa aku gak bisa hidup." jawabku.

"Tapi..."

Aku menggeleng. "Kamu gak ngerti. Kamu mungkin cukup tabah atau mungkin cukup kuat utk hidup tanpa aku, kalo emang itu yg terbaik. Tapi aku gak akan sanggup ngorbanin diriku kaya gitu lagi. Aku harus bersamamu, karna cuma dgn kaya gitu aku bisa hidup." jelasku pada Elang.

Elang masih tampak ragu.
Ku rengkuh kedua pipinya. "Jikalau yg lain-lain lenyap, tapi kau ada, aku akan tetap ada. Namun jikalau yg lain-lain bertahan tapi kau lenyap, jagat raya akan berubah menjadi tempat yg sangat asing. Dan aku tau tanpa siapa aku tak bisa hidup." ucapku perlahan, aku tau Elang mengerti semua itu.

Senyum kecil menghiasi wajahnya yg sempurna. "Aku tau persis maksudnya." Di peluknya pinggangku. Ia mempererat pelukannya dan berbisik di telingaku. "Aku tak sanggup hidup tanpa hidupku! Aku tak sanggup hidup tanpa jiwaku!"

"Bener banget," ucapku pelan. " Itu yg aku maksud."

"Aku sayang kamu, La." akhirnya Elang mengucapkan kata yg selama ini aku tunggu.

"Aku juga." desahku pelan seraya mendaratkan kepalaku ke dadanya.

"Aku tau." sahut Elang terkekeh, membelai lembut rambutku.


*****
Pengakuan Elang

2 komentar: