Rabu, 20 Juli 2011

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 8)

Minggu ini benar-benar kacau.
Aku tau pada intinya tak ada yg berubah. Teorinya, lebih mudah mengatakan tidak usah panik daripada melakukannya. Pendek kata, ini minggu yg sangat buruk. Dan hari ini adalah hari terburuk.

Hariku memang slalu buruk kalau Elang tak ada. Aku tak kan pernah mengaku padanya betapa sulitnya bagiku kalau dia tak ada, bagaimana itu slalu memunculkan kembali mimpi-mimpi buruk saat dia pergi dulu. Seandainya Elang tau, itu akan membuatnya merasa tidak enak dan takut meninggalkanku, bahkan utk alasan terpenting sekalipun.
Bagaimanapun, kayaknya Elang tau perasaanku yg sebenarnya. Sedikit.
Pagi ini aku menemukan pesan darinya;

Aku tak kan pernah membiarkanmu jatuh lagi.
Aku akan segera kembali, bahkan sebelum kau sempat merindukanku.
Jaga hatiku baik-baik, aku menitipkannya padamu.

Jadi sekarang minggu yg kosong melompong membentang di depanku. Humpfh...

Mungkin ada baiknya jika aku menemui Revo, sekedar silaturamhi dgn kluarga lama.
Ku pacu diriku menyusuri jalan raya yg basah akibat hujan semalam. Aku sudah megap-megap kehabisan tenaga ketika aku sampai di depan rumah Revo. Sudah lama sekali aku tak datang kesini.

Revo melihatku, dan ia berlari menghampiriku, lalu kami melompat-lompat seperti anak kecil.
Kami mulai berjalan, terlalu gembira utk duduk diam di rumah.

"Jadi gimana crita yg benernya?" tanya Revo memulai pembicaraan. "Maksud aku, sejak terakhir kali kau tenggelam dan kita....hmmm, sebelum itu, kamu tau lah maksud aku..." Revo berusaha mencari kata-kata yg tepat. Ia menarik nafas dalam-dalam dan mencoba lagi. "Yg aku maksud itu...apa semuanya langsung balik kaya dulu lagi sebelum dia pergi? Kamu maafin dia utk semua itu?"

Aku menghela nafas panjang. "Gak ada yg perlu di maafin."

Aku ingin melewati bagian ini, pengkhianatan, tuduhan, tapi aku tau kalau kita harus membicarakannya sampai tuntas sebelum beralih ke hal lain.

Wajah Revo mengerenyit, seperti baru menjilat lemon asam. " Kalo ajjah aku memotretmu waktu dia pergi meninggalkanmu beberapa bulan lalu. Itu bisa jadi bukti kuat."

"Gak ada yg harus di salahkan dan di hakimin." pekikku.

"Mungkin seharusnya ada."

"Kalo ajjah kamu tau alasannya kenapa dulu dia ninggalin aku, kamu juga gak akan nyalahin dia." tuntutku.

Revo menatapku marah beberapa detik. "Oke, buat aku kagum." tantangnya masam.

Amarah itu membuatku letih, mengiris-iris lukaku yg masih berdarah-darah, hatiku sakit karna Revo marah padaku.

"Elang pergi ninggalin aku karna menurut dia, aku bakal terus sakit hati kalo kita masih berhubungan. Menurut dia, hidup aku bakal jauh lebih baik kalo dia pergi."

Revo terperangah. Mulutnya membuka dan menutup, tak tau harus mengatakan apa. Apapun yg ia katakan jelas tidak tepat lagi utk diucapkan.

"Tapi kenapa dia balik lagi?" gerutu Revo. "Sayang banget, dia gak teguh ama pendiriannya."

"Kamu lupa yah, aku yg memintanya utk tetap disini bersamaku setelah aku hampir mati tenggelam itu."

Revo memandangiku sesaat, kemudian menyerah. Wajahnya berubah rileks, dan suara lebih tenang saat berbicara.
"Liat itu," ucap Revo, menuding seekor elang yg menukik tajam menuju laut dari ketinggian luar biasa. Elang itu naik lagi pd menit terakhir, hanya cakarnya yg memecah permukaan ombak, hanya sedetik. Lalu elang itu membumbung tinggi lagi ke udara, sayapnya mengepak-ngepak, berjuang naik dgn ikan besar dlm cengkraman cakarnya.

"Kamu ngeliat itu dimana-mana," lanjut Revo, suaranya tiba-tiba terdengar jauh. "Alam berjalan apa adanya, pemburu dan mangsa, putaran hidup dan mati yg gak pernah berakhir. Meskipun begitu, kamu gak pernah liat si ikan berusaha mencium si elang. Itu gak akan pernah terjadi." Revo nyengir mengejek.

Aku balas nyengir dgn kaku, meskipun kesinisan itu masih melekat di mulutku. "Mungkin ikannya udah berusaha," kataku. "Sulit menerka apa yg ada di pikiran si ikan. Kamu tau, Elang itu burung yg tampan banget."

"Jadi itu yah intinya?" Suara Revo mendadak terdengar lebih tajam. "Ketampanan.?"

"Jangan tolol kamu!" teriakku marah. "Bagus banget," gerutuku. "Aku tersanjung karan serendah itu aggapanmu tentang aku." aku berbalik dan berjalan menjauh.

"Aduh, jangan marah dong." Revo berada tepat di belakangku, di sambarnya pergelangan tanganku dan di balikkannya tubuhku. "Aku serius! Aku lagi memahami motivasi kamu, tapi gak bisa."

"Aku sayang Elang. Bukan karna dia tampan!" Ku semburkan kata itu pd Revo. "Aku lebih suka kalo dia gak tampan. Itu bakal ngilangin sedikit jurang perbedaan diantara kita, karna dia tetaplah Elang. Orang yg paling penuh cinta, paling gak egois, paling brilian, paling baik yg pernah aku kenal. Tentu ajjah aku cinta dia. Apa susah mahamin yg kaya gitu?"

Revo terdiam...


****
Jikalau yg lain-lain lenyap tapi Elang tetap ada, aku akan ada. Namun jikalau yg lain-lain berusaha tapi Elang lenyap, jagat raya akan terasa asing bagiku
...dan aku tau tanpa siapa aku tidak bisa hidup.



*****
Alam Dan Elang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar