Senin, 25 Juli 2011

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 14)

Hari tlah sore, seseorang mengetuk pintu rumahku. Tak terduga sama sekali, Revo datang. Wajahnya kelihatan lebih sehat dan tak pucat lagi
Ku buka pintu iyu dan membiarkannya masuk, Revo terlihat lebih ceria. Dan aku senang.

"Kamu udah sembuh?" tanyaku terlalu antusias.

Revo hanya tersenyum dan mengangkat kedua bahunya. "Gimana kabar kamu, La?"

Aku terdiam menunduk sambil menggigit-gigit bibirku sendiri.

"Kamu berantem yah ama Elang?" tebak Revo curiga. "Kenapa La?"

Aku menghela nafas panjang. "Aku rasa aku mesti jauhin dia dari sekarang."

Alis Revo terangkat, heran dan tak percaya. "Gak mungkin bisa, La. Dia tuh udah kaya candu buat kamu, aku yakin ini cuma bersifat sementara." papar Revo sedikit mengejekku. "Kamu tau La, aku berharap aku bisa jadi udara atau matahari buat kamu, saat si candu gak ada."

"Aku emang nganggep kamu kaya matahari. Matahari pribadiku yg menghangatkan hari-hari aku saat ada awan hitam."

"Kalo awan hitam mah, aku masih bisa ngelawan, kalo Elang mah udah kaya hmm...gerhana mungkin, yg nutupin matahari tanpa tawar menawar lagi dari kamu, tau?" jelas Revo jengah.

"Udahlah, aku gak mau bahas dia." desahku lelah.

Tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu lagi, Revo menatapku dan aku balik menatapnya, bertanya-tanya siapa orang itu. Dgn enggan aku beranjak dari sofa dan menuju pintu utk membukakannya. Dan Elang berdiri sempurna di depanku sedang menatapku penasaran. Raut wajahnya frustasi terpancar dari matanya yg hitam. Aku balas menatapnya garang, berharap ia memalingkan wajahnya dariku. Tapi ia malah terus menatap tajam mataku. Tak di ragukan lagi aku langsung berpaling menatap Revo.

Revo bangkit dari sofa dan pamit pulang. Mungkin ia merasa tak enak dgn kehadiran Elang, dan aku hanya tersenyum getir menatap kepergian Revo.

"La..." Suara Elang seharusnya tidak sefamilier itu, seolah-olah aku telah mengenalnya sepanjang hidupku.

Perlahan aku menatapnya, enggan. Aku tak ingin merasakan apa yg ku tau akan ku rasakan ketika aku memandang wajahnya yg sempurna iu. Ekspresiku hati-hati ketika akhirnya menghadapnya, ekspresi Elang malah tak bisa ku tebak. Ia tidak mengatakan apapun.

"Apa?" akhirnya aku bertanya, ada nada kesal menyelinap di dlm suaraku.

Bibir Elang mengejang, berusaha tersenyum. "Gak papa," sahutnya.

Aku memejamkan mata dan menarik nafas pelan, sadar aku menggertakan gigi. Elang menunggu.

"Trus kamu mau apa, Elang?" aku bertanya, mataku tetap terpejam, lebih mudah berbicara rasional pdnya dgn cara ini.

"Aku minta maaf." Ia terdengar tulus. "Aku tau sikapku kasar banget. Tapi lebih baik kaya gitu, beneran."

Aku membuka mata. Wajah Elang sangat serius. "Aku gak ngerti maksud kamu," kataku, hati-hati.

"Lebih baik kalo kita berjauhan," Elang menjelaskan. "Percaya deh, hidup kamu bakal lebih bahagia."

Mataku menyipit. Aku tak pernah mendengar itu sebelumnya.
"Sayang banget, kamu gak nyadarin itu dari awal," desisku tertahan. "Jadi kamu gak perlu repot-repot nyesel kaya gini."

"Nyesel?" katanya terperangah. "Nyesel kenapa?"

"Nyesel utk masuk ke kehidupan aku lagi."

Elang terpana. Ia memandangku keheranan.
Ketika akhirnya bicara, ia nyaris terdengar marah. "Kamu pikir aku nyesel udah kenal ama kamu? Udah bisa nyayangin kami kaya gini?"

"Aku tau, kamu ngerasa kaya gitu," tukasku.

"Kamu gak tau apa-apa." Elang sangat marah.

Aku memalingkan wajah dan menelan semua tuduhan liar yg ingin aku lontarkan padanya. Aku terdiam sesaat, sempat berpikir utk pergi saja. Lalu aku menghela nafas lagi.

"Iya emang, aku gak tau apa-apa tentang kamu." desisku lagi. " Dan itu benar adanya."

"La, kamu bener-bener aneh," katanya, suaranya dingin.

Telapak tanganku memanas, ingin sekali rasanya aku memukul sesuatu. Aku terkejut pada diriku sendiri. Aku biasanya tidak menyukai kekerasan.
"Kenapa kmu gak tinggalin aku sendirian aja?" gerutuku.

"Aku mau tanya sesuatu, tapi kamu ngalangin aku," Elang tertawa. Sepertinya selera humornya sudah kembali.

"Kamu ini punya kepribadian ganda yah?" tanyaku ketus.

"Aku mau tanya."

Aku menghela nafas. "Oke kalo gitu. Apa yg mau kamu tanyain?"

"Ngapain Revo kesini?" wajahnya kembali serius, matanya tajam menatapku.

"Urusan kamu apa?" kataku ketus.

"Aku gak suka."

"Itu urusan kamu, bukan aku." tukasku. "Aku mau deket ama siapa aja, mau ngapain aja, itu bukan urusan kamu dan kamu gak punya hak utk bilang gak suka ama apapun yg aku lakuin. Jelas?" kataku penuh amarah. "Karna kamu bukan siapa-siapa aku!"

Elang mematung, sorot matanya penuh dgn emosi. Dan aku tak peduli.



******
Matahari Dan Elang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar