Senin, 20 Februari 2012

Untukmu Inspirasiku

Rentang waktu...
Terkadang membuat kita lupa bahwa kita semakin dewasa

Waktu...
Yang disetiap detaknya memakukan kita dipersimpangan jalan
Ketika alam terus menari dalam simfoninya

Kadang hadiah terbaik datang dari sebuah pemahaman
Kedewasaan.

Mungkin aku memang tak bisa menggapai tanganmu
Namun doaku telah menari-nari menggapai Tuhan

Aku yang tak pernah berhasil membuatmu tersenyum, bahkan untuk hari ini
Ya, aku disini... Mencoba merangkai doa terindah untukmu
Sudikah kau mengaminkannya?

Tuhan...
Beri dia pemahaman tentang arti hidup yang keras ini
Curahkanlah sedikit kesabaran untuk ya menghadapi keadaan yang tak pernah sesuai dengan inginnya
Dewasakanlah cara berpikirnya, agar ia mempunyai sedikit saja rasa empati terhadap orang lain
Kurangilah keegoisaannya, agar ia dapat berbagi sudut pandang dengan orang lain
Perlebarlah wawasannya, agar kelak ia dapat membagikan ilmunya dengan sesama

Dan satu lagi, Tuhan...
Ijinkanlah ia bahagia dengan orang-orang yang menyayanginya
Bantu ia menemukan sesuatu yang benar-benar ia butuhkan untuk hidupnya
Aamiin...



*****
hope you will really find what you're looking for...

Senin, 25 Juli 2011

Lihat Aku Disini Yaa Rabb

Ku menengadahkan tanganku padaMu ya Rabb

Meminta securah belas kasihMu

Memohon sedikit keadilanMu

Lihat aku disini Tuhan, lihatlah...

Jiwa ini sudah tak sanggup, jiwa ini rapuh

Begitu banyak cobaan yg Kau beri

Kau tau, ketabahanku tak sesempurna itu

Ini yg terberat, dan aku sendiri
Begitu kecil, lemah, dan tak berdaya

Tuhhaaannnn....
Kuatkan aku, agar aku bisa bertahan dgn semua ini

Walau aku tau, itu gak mungkin

Aku berserah padaMu ya Rabb...




******
4th November 2010

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 18)

(Aku masih kaku. Kata-katanya tidak ku mengerti, karna tidak masuk akal.)

Elang mengguncang bahuku, tidak keras tapi cukup membuat gigiku gemeletuk sedikit.

"Pelangi," desahnya. "Apa yg lagi kamu pikirin?"

Dan tangisku pun pecah. Air mata menggenang dan kemudian mengalir deras ke kedua pipiku.

"Udah aku kira," isakkku. "Udah aku kira aku pasti lagi mimpi sekarang."

"Kamu keterlaluan banget La," sergah Elang, lalu tertawa hampa frustasi. "Gimana caranya aku jelasin ke kamu supaya kamu percaya ama aku? Kamu gak lagi tidur. Aku ada disini, dan aku sayang kamu. Aku slalu sayang kamu dan akan slalu sayang kamu. Aku mikirin kamu, ngeliat kamu dlm pikiran aku, setiap detik selama kita berpisah. Waktu aku bilang, aku gak sayang kamu, bisa dibilang itu sumpah palsu yg paling konyol."

Aku menggeleng sementara air mata terus menetes dari sudut-sudut mataku.

"Kamu gak percaya aku kan?" bisiknya, wajahnya pucat. "Kenapa kamu malah percaya ama kebohongan sih, La?"

"Emang gak pernah masuk akal kalo kamu sayang ama aku," aku menjelaskan, suaraku tercekat. "Dari dulu aku tau itu. Liat dirimu, dan liat aku ini, terlalu jauh."

Mata Elang menyipit, dagunya mengeras. "Akan aku buktiin kalo kamu gak mimpi, kalo kamu udah bangun." janjinya.

"Jangan," bisikku. Mimpi ini terlalu indah utk di sia-siakan.

"Kenapa?" tuntutnya. Elang mundur sedikit utk menatap wajahku.
"Aku pengen tau kenapa? Apa karna aku terlambat? Karna aku terlalu nyakitin kamu? Karna kamu udah sayang ama orang lain? Kalo emang kaya gitu, itu...cukup adil. Aku gak akan nyela keputusan kamu. Jadi, kamu gak usah repot-repot utk jaga perasaan aku, please...kasih tau aku sekarang apa kamu masih sayang ama aku atau gak? Setelah semua yg udah aku lakuin ke kamu." bisik Elang.

"Pertanyaan idiot apa itu?"

"Jawab aja La. Please."

Lama sekali ku tatap Elang dgn tajam. " Perasaan aku ke kamu gak akan pernah berubah. Tentu aja aku sayang kamu, dan itu gak bisa di ganggu gugat lagi!"

"Cuma itu yg perlu aku denger."

Lalu kami diam sesaat.

"Ngomong-ngomong," kata Elang dgn nada biasa saja. "Aku gak akan ninggalin kamu lagi."

Aku tidak mengatakan apa-apa, dan Elang sepertinya bisa mendengar nada skeptis dlm diamku.

Elang menatapku lekat-lekat. "Aku gak akan pergi kemana-mana. Gak tanpa kamu." Elang menabahkannya dgn nada serius.

"Jangan janjiin aku apa-apa," bisikku. " Kalo kamu ngebiarin aku berharap, tapi ternyata harapan itu kosong...itu akan membunuhku."

Bola mata Elang yg hitam berkilat marah. "Jadi kamu pikir aku bohong sekarang?"

"Gak, gak bohong." aku menggeleng, berusaha berpikir jernih. Mempelajari hipotesis bahwa ia memang menyayangiku, namun tetap berpikir objektif, sehingga aku tidak akn jatuh dlm perangkap harapan. "Kamu emang serius sekarang. Tapi gimama besok, kalo kamu mikirin lagi semua alasan kenapa kamu ninggalin aku dulu?"

Elang tersentak.

"Toh kamu gak ngelakuin sesuatu tanpa mikirin akibatnya matang-matang lebih dulu, kan?" tebakku. "Nanti juga kamu bakal ngelakuin apa yg kamu anggap benar."

"Aku gak setegar yg kamu kira," sergah Elang. "Kalo kamu mau, aku bisa mohon-mohon ama kamu sekarang supaya kamu mau nerima aku lagi."

Aku meringis. "Please...seriuslah."

"Oh, aku serius kok," tegas Elang, sikapnya garang sekarang. "Bisa gak kamu coba denger apa yg bakal aku ucapin ke kamu? Mau gak kamu kasih aku kesempatan utk jelasin arti kamu buat aku?"

Aku mengangguk sekali.

"Sebelum kamu, La, hidup aku bagaikan malam tanpa bulan. Gelap pekat, tapi ada bintang-bintang, titik-titik cahaya dan alasan... Kemudian kamu melintasi langitku bagaikan meteor. Tiba-tiba aja semua terbakar, ada kegemerlapan, ada keindahan. Setelah kamu gak ada, setelah meteor tadi lenyap di batas cakrawala, semuanya hitam kembali. Tidak ada yg berubah, tapi mataku udah dibutakan oleh cahaya terang tadi. Aku gak bisa ngeliat bintang-bintang. Jadi gak ada alasan utk apapun juga."

Lalu bibir Elang menempel di bibirku, dan aku tak mampu melawannya.



******
The End

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 17)

Akhirnya aku dan Elang sampai di perbatasan kota, dan ia menghentikan mobilnya ke tepi jalan.

"Kamu baik-baik aja?" Elang memecahkan keheningan malam itu, wajahnya masih tampak marah.

"Iya." jawabku lembut.

"Bisa tolong alihin perhatian aku?" perintahnya.

"Hahh? Maksud kamu?"

Ia menghela nafas keras-keras.
"Ceritain apa aja sampe aku tenang." Elang menjelaskan, dan ia memejamkan matanya.

"Mmm..." aku memutar otak utk menemukan sesuatu yg dapat mengalihkan pikirannya. "Kamu tau gak, kenapa cewek slalu pura-pura gak suka ama cowok padahal dia suka, dan cowok pasti pura-pura suka cewek walaupun dia gak begitu tertarik?"

Elang masih memejamkan matanya. "Gampang aja," ia terdengar lebih tenang. "Karna cewek slalu nunggu, dan cowok berasa punya kewajiban utk ngungkapinnya lebih dulu." Elang menghela nafas, akhirnya membuka mata.

"Udah lebih tenang?" kataku.

"Gak juga."

Aku menunggu, tapi Elang tak mengatakan apa-apa lagi. Ia menyandarkan kepalanyz ke kursi, menatap langit-langit mobil. Wajahnya kaku.

"Ada apa?" desahku.

"Kadang-kadang aku punya masalah ama emosiku, La." Elang berbisik sendiri, memandang ke luar jendela, matanya menyipit. "Tapi seenggaknya aku gak mau kamu yg jadi sasarannya. Itu yg coba aku lakuin dari tadi."

"Oh." kata itu sepertinya tidak cukup, tapi aku tak bisa memikirkan jawaban yg lebih baik.

"Aku...." Elang ragu-ragu, ia tampak gelisah, tidak nyaman. Ia menarik nafas dalam-dalam. "Aku lelah berusaha ngejauh dari kamu. Aku utang maaf ama kamu, banyak maaf kayaknya." kata-katanya mengalir sangat cepat. Seingatku begitulan cara Elang berbicara bila sedang gelisah, sehingga aku harus berkonsentrasi penuh utk menangkap semuanya. "Aku udah ngingkarin semua janji aku ama kamu. Aku harusnya bisa jagain kamu. Muak banget ama kenyataan ini. Setiap kali aku bisa ngeliat dan ngerasain kamu aman disamping aku kaya gini. Bodoh dan tolol banget aku ini...."

"Stop!" aku memotong perkataannya. Elang menatapku sedih. "Kamu ini apa-apaan sih? Kamu gak boleh punya pikiran kaya gitu. Kalopun aku celaka, itu bukan tanggung jawab kamu, itu bukan kesalahan kamu, itu cuma bagian dari kehidupan yg sebenarnya buat aku. Apapun yg terjadi ama aku, jelas itu bukan salah kamu." kalimatku pecah, aku tak bisa menahan tangisku.

"Pelangi." bisik Elang. "Apa kamu inget ucapan aku ke kamu?"

"Aku inget semua ucapan kamu."

"Kayaknya kamu salah ngartiin, La." Elang membelai lembut bibir bawahku dgn ujung-ujung jarinya. "Kamu penting buat aku, La. Kamu adalah dunia aku."

"Aku..." kepalaku berputar sementara mencari kata yg tepat. "Bingung." Penjelasannya sangat tak masuk akal bagiku, mengingat semua yg tlah dia lakukan.

Elang menatap mataku dalam-dalam dgn tatapan yg tulus dan bersungguh-sungguh. "Dengerin aku sampe selesai! Aku ini pembohong besar, tapi kamu terlalu cepet percaya ama aku." Elang meringis. "Itu...sangat menyakitkan."

Aku masih menunggu dia berbicara lagi.

"Kamu inget waktu pertama kali aku pergi, aku bilang kalo aku udah gak cinta kamu, dan kamu percaya gitu aja. Aku pikir itu mustahil, aku pikir kamu gak akan percaya semua omong kosong itu. Aku cuma kasih sedikit ragu buat kamu waktu itu. Aku bohong, dan aku nyesel. Nyesel karna udah nyakitin kamu, nyesel karna aku gak bisa jagain kamu. Aku bohong supaya hidup kamu lebih tenang tanpa aku, tapi itu gak berhasil. Maafin aku."

Elang masih berbicara. "Tapi gimana kamu bisa langsung percaya kalo aku gak cinta kamu? Padahal udah ribuan kali aku bilang cinta ama kamu, gimana kamu bisa ngebiarin satu kata aja ngancurin kepercayaan kamu ke aku?"

Aku tidak menjawab. Aku terlalu shock utk bisa membentuk respons yg rasional.

"Aku bisa ngeliatnya dari mata kamu waktu itu, kamu bener percaya aku gak sayang kamu lagi. Konsep yg paling konyol, seolah-olah aku bisa bertahan tanpa kamu aja."

Aku masih kaku. Kata-katanya tidak ku mengerti, karna tidak masuk akal.



******
Kebingungan Pelangi

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 16)

Waktupun berlalu. Bahkan saat rasanya mustahil, waktu tetap terus berjalan. Bahkan di saat setiap detik pergerakan jarum jam terasa menyakitkan, bagaikan denyut nadi di balik luka memar. Waktu seakan berlalu di jalan yg tidak rata, bergejolak dan diseret-seret, namun terus berjalan. Bahkan bagiku.

Sudah hampir 4 bulan setelah kejadian itu, Elang tak pernah menemuiku lagi. Oke, aku merasa amat sangat kehilangan, tentu saja. Tapi ku tau, itu tak kan merubah keadaan. Aku tak mungkin menemuinya, aku terlalu pungecut utk melakukan hal itu.

Dan aku selalu berusaha utk menghindar dari waktu senggang.

Kosong.

Hampa.

Tidak pernah ada apa-apa lagi utkku.

Perasaan bersalah menggayuti pikiranku. Oke, kali ini Elang pergi karna salahku.

***

Hari ini aku berencana ke kota tua, hanya utk menghilangkan penat. Kota ini adalah daya tarik yg indah bagi wisatawan. Meskipun hanya kota kecil, namun tempatnya lebih tertata dan menarik di banding kota-kota yg lain.

Hari telah senja, tiba-tiba langit mengelap. Aku mendapati diriku berjalan di trotoar yg melintasi bagian belakang gudang-gudang yg suram, masing-masing dilengkapi pintu utk bongkar muat truk, terkunci pada malam hari. Sisi selatan jalan tidak bertrotoar, hanya pagar kawat dgn kawat berduri utk melindungi sejenis tempat penyimpanan mesin. Sepertinya aku sampai di bagian kota yg bukan diperuntukan utk pengunjung. Aku tersadar hari mulai gelap, awan-awan akhirnya berkumpul lagi di langit barat, membuat matahari terbenam lebih awal. Langit timur masih bersih tapi mulai kelabu dgn semburat merah jambu dan jingga. Dan dingin yg kurasakan membuatku bersedekap erat-erat. Lalu sebuah mobil melintas di depanku, dan jalanan kembali kosong.

Tapi ketika aku menoleh, aku terkejut menyadari dua cowok diam-diam mengendap-endap enam meter dibelakangku. Aku langsung membuang muka dan mempercepat langkahku. Perasaan merinding yg tak ada hubungannya dgn cuaca membuatku gemetar lagi. Tak kecilku yg kuselempangkan di tubuhku, ku peluk erat supaya tidak bisa di jambret. Tapi suara ketakutan di sudut benakku mengingatkanku, mereka mungkin saja lebih dari sekedar mencuri.

Aku terus berjalan secepat mungkin tanpa benar-benar berlari, lalu sebuah mobil biru muncul dar arah yg berlawanan.
Aku dijebak.
Aku berhenti sedetik yg rasanya lama sekali. Kemudian aku berbalik dan berlari ke sisi jalan lain. Dgn hati ciut aku menyadari usahaku sia-sia. Suara langkah di belakangku semakin jelas sekarang.

"Disitu kamu ternyata, cantik." suara gelegar cowok bertubuh kekar itu memecahkan keheningan dan menbuatku kaget.

"Ya.." suara keras menyahut dari belakangku, membuatku terperanjat sekali lagi ketika mencoba berlari. "Kita cuma ambil jalan pintas."

"Jangan dekati aku." aku mengingatkan dgn suara yg seharusnya lantang dan berani. Tapi aku benar-benar ketakutan hingga tak ada suara yg keluar.

"Jangan gitu dong, sayang." seru cowok itu, dan suara tawa liar terdengar lagi di belakangku.

Namun ketika cowok-cowok itu mulai berjalang mendekatiku, sekonyong-konyong lampu sorot muncul dari sudut jalan, dan sebuah mobil nyaris menabrak si kekar, memaksanya melompat ke trotoar. Aku berlari ke tengah jalan, mobil ini akan berhenti atau menabrakku. Tapi mobil itu tak di sangka-sangka menukik, lalu berhenti dgn salah satu pintu terbuka hanya beberapa jengkal dariku.

"Masuk," terdengar suara gusar memerintahku, suara yg sangat ku kenal, itu suara milik Elang.

Aku melompat masuk, membaning pintunya hingga tertutup.
Sungguh mengagumkan betapa cepatnya cekaman rasa takut itu lenyap, hanya sedetik setelah aku mendengar suaranya.

Dan kami meluncur dgn cepat meninggalkan tempat itu.


*****
Elang Di Kota Tua

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 15)

Aku menatap Elang dgn perasaan khawatir kalau-kalau dia marah dgn semua ucapanku tadi. Tentu saja, tapi ia tak memperlihatkannya padaku. Ia mematung sekitar dua menit di depan pintu rumahku, dan aku bingung tidak tau harus berbuat apa. Ini membuatku gelisah.

"Oke," akhirnya Elang berkata. "Aku pergi. Jaga diri kamu baik-baik yah." Suaranya datar tanpa ekspresi apapun.

Dan beberapa detik kemudian, Elang sudah lenyap, mungkin utk selamanya, akupun tak dapat memastikannya.
Perasaan bersalah menggayuti pikiranku, apa aku terlalu kasar padanya? Tapi itu mungkin lebih baik, toh tadi ia bilang lebih baik kita berjauhan. Dan itu sudah menegaskan semuanya.

Aku memutuskan utk menemui Revo lagi, setelah Elang pergi dan Revo pergi secara tidak sopan seperti itu. Aku bergegas mengendarai motorku, aku tidak terlalu memerhatikan jalan yg berkilau basah tertimpa cahaya matahari. Detik berikutnya, cahaya matahati berkilau menerpa bodi perak mengkilat sebuah motor sport yg mengekor tepat di belakangku.

"Sial." keluhku, aku tau itu motor Elang.
Aku sempat menimbang-nimbang utk menepi. Tapi aku terlalu pengecut utk langsung menghadapi amarah Elang tadi. Benar-benar pengecut pokoknya, aku langsung memutar arah menuju teman cewekku, Vega, tanpa sekalipun membalas tatapan yg bisa kurasakan membakar, melubangi spionku.

Elang terus mengikutiku terus sampai aku menepilan motorku didepan rumah Vega. Elang tidak ikut berhenti, ia melewatiku tapi aku tak berani utk mendongak melihatnya. Aku tak ingin melihat ekspresinya.

Vega membuka pintu sebelum aku sempat mengetuk, seolah-olah sejak tadi ia sudah berdiri di belakang pintu.

"Hai, La." sapanya kaget.

"Hai, Ve. Lama gak main ke rumahmu yah." aku tersipu malu, wajahku merona.

Kepanikanku sedikit berkurang, dan aku bernafas lebih teratur. Kuikuti Vega menaiki tangga menuju kamarnya. Kami langsung saja berbaring di kasurnya dan Vega mulai menceritakan semua kisah hidupnya yg belum ku tau.

"Gimana kamu ama Elang?" tiba-tiba saja pertanyaan Vega mengejutkanku.

Aku tak menjawab, hanya mengangkat bahuku, dan tersenyum kecut.

"Ada masalah?" tanya Vega lagi, suaranya rendah sekarang. "Kayaknya kamu gelisah."

Aku tersenyum malu-malu. "Keliatan banget yah?"

"Gak juga."
Mungkin Vega berbohong utk menenangkan perasaan hatiku.

"Kamu gak perlu cerita kalo emang gak mau," Vega meyakinkanku. "Aku bakal dengerin kalo kamu pikir itu bisa ngebantu. Aku gak bakal ikut campur." janji Vega.

"Gak," ujarku. "Kamu bener. Aku emang gelisah. Tentang...tentang Elang."

"Emangnya ada apa?"

Mudah sekali mengobrol dgn Vega. Kalau ia bertanya seperti itu, aku tau ia bukan sekedar ingin tau atau mendengarkan gosip, tapi ia peduli pada kegelisahanku.

"Oh, Elang marah ama aku."

"Hmm...aku gak bisa ngebayanginnya." kata Vega. "Kenapa dia marah?"

Aku menarik nafas. "Kamu masih inget ama Revo?"

"Oh.." ucap Vega. "Dia cemburu."

"Gak, bukan cemburu...." seharusnya tadi aku tidak usah cerita. Toh aku takkan bisa menjelaskan dgn benar. Tapi aku benar-benar butuh seseorang utk berbagi.

Aku kaget melihat Vega menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Apa?" tanyaku.

"Pelangi, aku pernah liat sendiri cara Revo natap kamu. Berani taruhan, masalahnya itu sebenernya cemburu."

"Tapi aku gak ada apa-apa ama Revo."

"Buat kamu mungkin gak ada apa-apa. Tapi buat Revo..."

Kenigku berkerut. "Revo tau gimana perasaanku. Aku uah cerita semuanya ama dia."

"Elang kan cuma cowok biasa, La. Wajar kalo dia marah ama kamu, cowok-cowok lain juga bakal ngelakuin hal yg sama seandainya ada di posisi Elang."

Aku meringis. Tidak bisa menanggapi.

Vega menepuk-nepuk pundakku. "Elang pasti bisa ngatasin masalahnya dgn cara dia sendiri. Dia cuma butuh waktu. Elang gak suka ama Revo....Itu pasti sulit buat dia."

Aku separuh tersenyum getir.


*****
Amarah Atau Kecemburuan Elang

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 14)

Hari tlah sore, seseorang mengetuk pintu rumahku. Tak terduga sama sekali, Revo datang. Wajahnya kelihatan lebih sehat dan tak pucat lagi
Ku buka pintu iyu dan membiarkannya masuk, Revo terlihat lebih ceria. Dan aku senang.

"Kamu udah sembuh?" tanyaku terlalu antusias.

Revo hanya tersenyum dan mengangkat kedua bahunya. "Gimana kabar kamu, La?"

Aku terdiam menunduk sambil menggigit-gigit bibirku sendiri.

"Kamu berantem yah ama Elang?" tebak Revo curiga. "Kenapa La?"

Aku menghela nafas panjang. "Aku rasa aku mesti jauhin dia dari sekarang."

Alis Revo terangkat, heran dan tak percaya. "Gak mungkin bisa, La. Dia tuh udah kaya candu buat kamu, aku yakin ini cuma bersifat sementara." papar Revo sedikit mengejekku. "Kamu tau La, aku berharap aku bisa jadi udara atau matahari buat kamu, saat si candu gak ada."

"Aku emang nganggep kamu kaya matahari. Matahari pribadiku yg menghangatkan hari-hari aku saat ada awan hitam."

"Kalo awan hitam mah, aku masih bisa ngelawan, kalo Elang mah udah kaya hmm...gerhana mungkin, yg nutupin matahari tanpa tawar menawar lagi dari kamu, tau?" jelas Revo jengah.

"Udahlah, aku gak mau bahas dia." desahku lelah.

Tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu lagi, Revo menatapku dan aku balik menatapnya, bertanya-tanya siapa orang itu. Dgn enggan aku beranjak dari sofa dan menuju pintu utk membukakannya. Dan Elang berdiri sempurna di depanku sedang menatapku penasaran. Raut wajahnya frustasi terpancar dari matanya yg hitam. Aku balas menatapnya garang, berharap ia memalingkan wajahnya dariku. Tapi ia malah terus menatap tajam mataku. Tak di ragukan lagi aku langsung berpaling menatap Revo.

Revo bangkit dari sofa dan pamit pulang. Mungkin ia merasa tak enak dgn kehadiran Elang, dan aku hanya tersenyum getir menatap kepergian Revo.

"La..." Suara Elang seharusnya tidak sefamilier itu, seolah-olah aku telah mengenalnya sepanjang hidupku.

Perlahan aku menatapnya, enggan. Aku tak ingin merasakan apa yg ku tau akan ku rasakan ketika aku memandang wajahnya yg sempurna iu. Ekspresiku hati-hati ketika akhirnya menghadapnya, ekspresi Elang malah tak bisa ku tebak. Ia tidak mengatakan apapun.

"Apa?" akhirnya aku bertanya, ada nada kesal menyelinap di dlm suaraku.

Bibir Elang mengejang, berusaha tersenyum. "Gak papa," sahutnya.

Aku memejamkan mata dan menarik nafas pelan, sadar aku menggertakan gigi. Elang menunggu.

"Trus kamu mau apa, Elang?" aku bertanya, mataku tetap terpejam, lebih mudah berbicara rasional pdnya dgn cara ini.

"Aku minta maaf." Ia terdengar tulus. "Aku tau sikapku kasar banget. Tapi lebih baik kaya gitu, beneran."

Aku membuka mata. Wajah Elang sangat serius. "Aku gak ngerti maksud kamu," kataku, hati-hati.

"Lebih baik kalo kita berjauhan," Elang menjelaskan. "Percaya deh, hidup kamu bakal lebih bahagia."

Mataku menyipit. Aku tak pernah mendengar itu sebelumnya.
"Sayang banget, kamu gak nyadarin itu dari awal," desisku tertahan. "Jadi kamu gak perlu repot-repot nyesel kaya gini."

"Nyesel?" katanya terperangah. "Nyesel kenapa?"

"Nyesel utk masuk ke kehidupan aku lagi."

Elang terpana. Ia memandangku keheranan.
Ketika akhirnya bicara, ia nyaris terdengar marah. "Kamu pikir aku nyesel udah kenal ama kamu? Udah bisa nyayangin kami kaya gini?"

"Aku tau, kamu ngerasa kaya gitu," tukasku.

"Kamu gak tau apa-apa." Elang sangat marah.

Aku memalingkan wajah dan menelan semua tuduhan liar yg ingin aku lontarkan padanya. Aku terdiam sesaat, sempat berpikir utk pergi saja. Lalu aku menghela nafas lagi.

"Iya emang, aku gak tau apa-apa tentang kamu." desisku lagi. " Dan itu benar adanya."

"La, kamu bener-bener aneh," katanya, suaranya dingin.

Telapak tanganku memanas, ingin sekali rasanya aku memukul sesuatu. Aku terkejut pada diriku sendiri. Aku biasanya tidak menyukai kekerasan.
"Kenapa kmu gak tinggalin aku sendirian aja?" gerutuku.

"Aku mau tanya sesuatu, tapi kamu ngalangin aku," Elang tertawa. Sepertinya selera humornya sudah kembali.

"Kamu ini punya kepribadian ganda yah?" tanyaku ketus.

"Aku mau tanya."

Aku menghela nafas. "Oke kalo gitu. Apa yg mau kamu tanyain?"

"Ngapain Revo kesini?" wajahnya kembali serius, matanya tajam menatapku.

"Urusan kamu apa?" kataku ketus.

"Aku gak suka."

"Itu urusan kamu, bukan aku." tukasku. "Aku mau deket ama siapa aja, mau ngapain aja, itu bukan urusan kamu dan kamu gak punya hak utk bilang gak suka ama apapun yg aku lakuin. Jelas?" kataku penuh amarah. "Karna kamu bukan siapa-siapa aku!"

Elang mematung, sorot matanya penuh dgn emosi. Dan aku tak peduli.



******
Matahari Dan Elang