Senin, 25 Juli 2011

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 15)

Aku menatap Elang dgn perasaan khawatir kalau-kalau dia marah dgn semua ucapanku tadi. Tentu saja, tapi ia tak memperlihatkannya padaku. Ia mematung sekitar dua menit di depan pintu rumahku, dan aku bingung tidak tau harus berbuat apa. Ini membuatku gelisah.

"Oke," akhirnya Elang berkata. "Aku pergi. Jaga diri kamu baik-baik yah." Suaranya datar tanpa ekspresi apapun.

Dan beberapa detik kemudian, Elang sudah lenyap, mungkin utk selamanya, akupun tak dapat memastikannya.
Perasaan bersalah menggayuti pikiranku, apa aku terlalu kasar padanya? Tapi itu mungkin lebih baik, toh tadi ia bilang lebih baik kita berjauhan. Dan itu sudah menegaskan semuanya.

Aku memutuskan utk menemui Revo lagi, setelah Elang pergi dan Revo pergi secara tidak sopan seperti itu. Aku bergegas mengendarai motorku, aku tidak terlalu memerhatikan jalan yg berkilau basah tertimpa cahaya matahari. Detik berikutnya, cahaya matahati berkilau menerpa bodi perak mengkilat sebuah motor sport yg mengekor tepat di belakangku.

"Sial." keluhku, aku tau itu motor Elang.
Aku sempat menimbang-nimbang utk menepi. Tapi aku terlalu pengecut utk langsung menghadapi amarah Elang tadi. Benar-benar pengecut pokoknya, aku langsung memutar arah menuju teman cewekku, Vega, tanpa sekalipun membalas tatapan yg bisa kurasakan membakar, melubangi spionku.

Elang terus mengikutiku terus sampai aku menepilan motorku didepan rumah Vega. Elang tidak ikut berhenti, ia melewatiku tapi aku tak berani utk mendongak melihatnya. Aku tak ingin melihat ekspresinya.

Vega membuka pintu sebelum aku sempat mengetuk, seolah-olah sejak tadi ia sudah berdiri di belakang pintu.

"Hai, La." sapanya kaget.

"Hai, Ve. Lama gak main ke rumahmu yah." aku tersipu malu, wajahku merona.

Kepanikanku sedikit berkurang, dan aku bernafas lebih teratur. Kuikuti Vega menaiki tangga menuju kamarnya. Kami langsung saja berbaring di kasurnya dan Vega mulai menceritakan semua kisah hidupnya yg belum ku tau.

"Gimana kamu ama Elang?" tiba-tiba saja pertanyaan Vega mengejutkanku.

Aku tak menjawab, hanya mengangkat bahuku, dan tersenyum kecut.

"Ada masalah?" tanya Vega lagi, suaranya rendah sekarang. "Kayaknya kamu gelisah."

Aku tersenyum malu-malu. "Keliatan banget yah?"

"Gak juga."
Mungkin Vega berbohong utk menenangkan perasaan hatiku.

"Kamu gak perlu cerita kalo emang gak mau," Vega meyakinkanku. "Aku bakal dengerin kalo kamu pikir itu bisa ngebantu. Aku gak bakal ikut campur." janji Vega.

"Gak," ujarku. "Kamu bener. Aku emang gelisah. Tentang...tentang Elang."

"Emangnya ada apa?"

Mudah sekali mengobrol dgn Vega. Kalau ia bertanya seperti itu, aku tau ia bukan sekedar ingin tau atau mendengarkan gosip, tapi ia peduli pada kegelisahanku.

"Oh, Elang marah ama aku."

"Hmm...aku gak bisa ngebayanginnya." kata Vega. "Kenapa dia marah?"

Aku menarik nafas. "Kamu masih inget ama Revo?"

"Oh.." ucap Vega. "Dia cemburu."

"Gak, bukan cemburu...." seharusnya tadi aku tidak usah cerita. Toh aku takkan bisa menjelaskan dgn benar. Tapi aku benar-benar butuh seseorang utk berbagi.

Aku kaget melihat Vega menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Apa?" tanyaku.

"Pelangi, aku pernah liat sendiri cara Revo natap kamu. Berani taruhan, masalahnya itu sebenernya cemburu."

"Tapi aku gak ada apa-apa ama Revo."

"Buat kamu mungkin gak ada apa-apa. Tapi buat Revo..."

Kenigku berkerut. "Revo tau gimana perasaanku. Aku uah cerita semuanya ama dia."

"Elang kan cuma cowok biasa, La. Wajar kalo dia marah ama kamu, cowok-cowok lain juga bakal ngelakuin hal yg sama seandainya ada di posisi Elang."

Aku meringis. Tidak bisa menanggapi.

Vega menepuk-nepuk pundakku. "Elang pasti bisa ngatasin masalahnya dgn cara dia sendiri. Dia cuma butuh waktu. Elang gak suka ama Revo....Itu pasti sulit buat dia."

Aku separuh tersenyum getir.


*****
Amarah Atau Kecemburuan Elang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar