Senin, 25 Juli 2011

Lihat Aku Disini Yaa Rabb

Ku menengadahkan tanganku padaMu ya Rabb

Meminta securah belas kasihMu

Memohon sedikit keadilanMu

Lihat aku disini Tuhan, lihatlah...

Jiwa ini sudah tak sanggup, jiwa ini rapuh

Begitu banyak cobaan yg Kau beri

Kau tau, ketabahanku tak sesempurna itu

Ini yg terberat, dan aku sendiri
Begitu kecil, lemah, dan tak berdaya

Tuhhaaannnn....
Kuatkan aku, agar aku bisa bertahan dgn semua ini

Walau aku tau, itu gak mungkin

Aku berserah padaMu ya Rabb...




******
4th November 2010

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 18)

(Aku masih kaku. Kata-katanya tidak ku mengerti, karna tidak masuk akal.)

Elang mengguncang bahuku, tidak keras tapi cukup membuat gigiku gemeletuk sedikit.

"Pelangi," desahnya. "Apa yg lagi kamu pikirin?"

Dan tangisku pun pecah. Air mata menggenang dan kemudian mengalir deras ke kedua pipiku.

"Udah aku kira," isakkku. "Udah aku kira aku pasti lagi mimpi sekarang."

"Kamu keterlaluan banget La," sergah Elang, lalu tertawa hampa frustasi. "Gimana caranya aku jelasin ke kamu supaya kamu percaya ama aku? Kamu gak lagi tidur. Aku ada disini, dan aku sayang kamu. Aku slalu sayang kamu dan akan slalu sayang kamu. Aku mikirin kamu, ngeliat kamu dlm pikiran aku, setiap detik selama kita berpisah. Waktu aku bilang, aku gak sayang kamu, bisa dibilang itu sumpah palsu yg paling konyol."

Aku menggeleng sementara air mata terus menetes dari sudut-sudut mataku.

"Kamu gak percaya aku kan?" bisiknya, wajahnya pucat. "Kenapa kamu malah percaya ama kebohongan sih, La?"

"Emang gak pernah masuk akal kalo kamu sayang ama aku," aku menjelaskan, suaraku tercekat. "Dari dulu aku tau itu. Liat dirimu, dan liat aku ini, terlalu jauh."

Mata Elang menyipit, dagunya mengeras. "Akan aku buktiin kalo kamu gak mimpi, kalo kamu udah bangun." janjinya.

"Jangan," bisikku. Mimpi ini terlalu indah utk di sia-siakan.

"Kenapa?" tuntutnya. Elang mundur sedikit utk menatap wajahku.
"Aku pengen tau kenapa? Apa karna aku terlambat? Karna aku terlalu nyakitin kamu? Karna kamu udah sayang ama orang lain? Kalo emang kaya gitu, itu...cukup adil. Aku gak akan nyela keputusan kamu. Jadi, kamu gak usah repot-repot utk jaga perasaan aku, please...kasih tau aku sekarang apa kamu masih sayang ama aku atau gak? Setelah semua yg udah aku lakuin ke kamu." bisik Elang.

"Pertanyaan idiot apa itu?"

"Jawab aja La. Please."

Lama sekali ku tatap Elang dgn tajam. " Perasaan aku ke kamu gak akan pernah berubah. Tentu aja aku sayang kamu, dan itu gak bisa di ganggu gugat lagi!"

"Cuma itu yg perlu aku denger."

Lalu kami diam sesaat.

"Ngomong-ngomong," kata Elang dgn nada biasa saja. "Aku gak akan ninggalin kamu lagi."

Aku tidak mengatakan apa-apa, dan Elang sepertinya bisa mendengar nada skeptis dlm diamku.

Elang menatapku lekat-lekat. "Aku gak akan pergi kemana-mana. Gak tanpa kamu." Elang menabahkannya dgn nada serius.

"Jangan janjiin aku apa-apa," bisikku. " Kalo kamu ngebiarin aku berharap, tapi ternyata harapan itu kosong...itu akan membunuhku."

Bola mata Elang yg hitam berkilat marah. "Jadi kamu pikir aku bohong sekarang?"

"Gak, gak bohong." aku menggeleng, berusaha berpikir jernih. Mempelajari hipotesis bahwa ia memang menyayangiku, namun tetap berpikir objektif, sehingga aku tidak akn jatuh dlm perangkap harapan. "Kamu emang serius sekarang. Tapi gimama besok, kalo kamu mikirin lagi semua alasan kenapa kamu ninggalin aku dulu?"

Elang tersentak.

"Toh kamu gak ngelakuin sesuatu tanpa mikirin akibatnya matang-matang lebih dulu, kan?" tebakku. "Nanti juga kamu bakal ngelakuin apa yg kamu anggap benar."

"Aku gak setegar yg kamu kira," sergah Elang. "Kalo kamu mau, aku bisa mohon-mohon ama kamu sekarang supaya kamu mau nerima aku lagi."

Aku meringis. "Please...seriuslah."

"Oh, aku serius kok," tegas Elang, sikapnya garang sekarang. "Bisa gak kamu coba denger apa yg bakal aku ucapin ke kamu? Mau gak kamu kasih aku kesempatan utk jelasin arti kamu buat aku?"

Aku mengangguk sekali.

"Sebelum kamu, La, hidup aku bagaikan malam tanpa bulan. Gelap pekat, tapi ada bintang-bintang, titik-titik cahaya dan alasan... Kemudian kamu melintasi langitku bagaikan meteor. Tiba-tiba aja semua terbakar, ada kegemerlapan, ada keindahan. Setelah kamu gak ada, setelah meteor tadi lenyap di batas cakrawala, semuanya hitam kembali. Tidak ada yg berubah, tapi mataku udah dibutakan oleh cahaya terang tadi. Aku gak bisa ngeliat bintang-bintang. Jadi gak ada alasan utk apapun juga."

Lalu bibir Elang menempel di bibirku, dan aku tak mampu melawannya.



******
The End

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 17)

Akhirnya aku dan Elang sampai di perbatasan kota, dan ia menghentikan mobilnya ke tepi jalan.

"Kamu baik-baik aja?" Elang memecahkan keheningan malam itu, wajahnya masih tampak marah.

"Iya." jawabku lembut.

"Bisa tolong alihin perhatian aku?" perintahnya.

"Hahh? Maksud kamu?"

Ia menghela nafas keras-keras.
"Ceritain apa aja sampe aku tenang." Elang menjelaskan, dan ia memejamkan matanya.

"Mmm..." aku memutar otak utk menemukan sesuatu yg dapat mengalihkan pikirannya. "Kamu tau gak, kenapa cewek slalu pura-pura gak suka ama cowok padahal dia suka, dan cowok pasti pura-pura suka cewek walaupun dia gak begitu tertarik?"

Elang masih memejamkan matanya. "Gampang aja," ia terdengar lebih tenang. "Karna cewek slalu nunggu, dan cowok berasa punya kewajiban utk ngungkapinnya lebih dulu." Elang menghela nafas, akhirnya membuka mata.

"Udah lebih tenang?" kataku.

"Gak juga."

Aku menunggu, tapi Elang tak mengatakan apa-apa lagi. Ia menyandarkan kepalanyz ke kursi, menatap langit-langit mobil. Wajahnya kaku.

"Ada apa?" desahku.

"Kadang-kadang aku punya masalah ama emosiku, La." Elang berbisik sendiri, memandang ke luar jendela, matanya menyipit. "Tapi seenggaknya aku gak mau kamu yg jadi sasarannya. Itu yg coba aku lakuin dari tadi."

"Oh." kata itu sepertinya tidak cukup, tapi aku tak bisa memikirkan jawaban yg lebih baik.

"Aku...." Elang ragu-ragu, ia tampak gelisah, tidak nyaman. Ia menarik nafas dalam-dalam. "Aku lelah berusaha ngejauh dari kamu. Aku utang maaf ama kamu, banyak maaf kayaknya." kata-katanya mengalir sangat cepat. Seingatku begitulan cara Elang berbicara bila sedang gelisah, sehingga aku harus berkonsentrasi penuh utk menangkap semuanya. "Aku udah ngingkarin semua janji aku ama kamu. Aku harusnya bisa jagain kamu. Muak banget ama kenyataan ini. Setiap kali aku bisa ngeliat dan ngerasain kamu aman disamping aku kaya gini. Bodoh dan tolol banget aku ini...."

"Stop!" aku memotong perkataannya. Elang menatapku sedih. "Kamu ini apa-apaan sih? Kamu gak boleh punya pikiran kaya gitu. Kalopun aku celaka, itu bukan tanggung jawab kamu, itu bukan kesalahan kamu, itu cuma bagian dari kehidupan yg sebenarnya buat aku. Apapun yg terjadi ama aku, jelas itu bukan salah kamu." kalimatku pecah, aku tak bisa menahan tangisku.

"Pelangi." bisik Elang. "Apa kamu inget ucapan aku ke kamu?"

"Aku inget semua ucapan kamu."

"Kayaknya kamu salah ngartiin, La." Elang membelai lembut bibir bawahku dgn ujung-ujung jarinya. "Kamu penting buat aku, La. Kamu adalah dunia aku."

"Aku..." kepalaku berputar sementara mencari kata yg tepat. "Bingung." Penjelasannya sangat tak masuk akal bagiku, mengingat semua yg tlah dia lakukan.

Elang menatap mataku dalam-dalam dgn tatapan yg tulus dan bersungguh-sungguh. "Dengerin aku sampe selesai! Aku ini pembohong besar, tapi kamu terlalu cepet percaya ama aku." Elang meringis. "Itu...sangat menyakitkan."

Aku masih menunggu dia berbicara lagi.

"Kamu inget waktu pertama kali aku pergi, aku bilang kalo aku udah gak cinta kamu, dan kamu percaya gitu aja. Aku pikir itu mustahil, aku pikir kamu gak akan percaya semua omong kosong itu. Aku cuma kasih sedikit ragu buat kamu waktu itu. Aku bohong, dan aku nyesel. Nyesel karna udah nyakitin kamu, nyesel karna aku gak bisa jagain kamu. Aku bohong supaya hidup kamu lebih tenang tanpa aku, tapi itu gak berhasil. Maafin aku."

Elang masih berbicara. "Tapi gimana kamu bisa langsung percaya kalo aku gak cinta kamu? Padahal udah ribuan kali aku bilang cinta ama kamu, gimana kamu bisa ngebiarin satu kata aja ngancurin kepercayaan kamu ke aku?"

Aku tidak menjawab. Aku terlalu shock utk bisa membentuk respons yg rasional.

"Aku bisa ngeliatnya dari mata kamu waktu itu, kamu bener percaya aku gak sayang kamu lagi. Konsep yg paling konyol, seolah-olah aku bisa bertahan tanpa kamu aja."

Aku masih kaku. Kata-katanya tidak ku mengerti, karna tidak masuk akal.



******
Kebingungan Pelangi

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 16)

Waktupun berlalu. Bahkan saat rasanya mustahil, waktu tetap terus berjalan. Bahkan di saat setiap detik pergerakan jarum jam terasa menyakitkan, bagaikan denyut nadi di balik luka memar. Waktu seakan berlalu di jalan yg tidak rata, bergejolak dan diseret-seret, namun terus berjalan. Bahkan bagiku.

Sudah hampir 4 bulan setelah kejadian itu, Elang tak pernah menemuiku lagi. Oke, aku merasa amat sangat kehilangan, tentu saja. Tapi ku tau, itu tak kan merubah keadaan. Aku tak mungkin menemuinya, aku terlalu pungecut utk melakukan hal itu.

Dan aku selalu berusaha utk menghindar dari waktu senggang.

Kosong.

Hampa.

Tidak pernah ada apa-apa lagi utkku.

Perasaan bersalah menggayuti pikiranku. Oke, kali ini Elang pergi karna salahku.

***

Hari ini aku berencana ke kota tua, hanya utk menghilangkan penat. Kota ini adalah daya tarik yg indah bagi wisatawan. Meskipun hanya kota kecil, namun tempatnya lebih tertata dan menarik di banding kota-kota yg lain.

Hari telah senja, tiba-tiba langit mengelap. Aku mendapati diriku berjalan di trotoar yg melintasi bagian belakang gudang-gudang yg suram, masing-masing dilengkapi pintu utk bongkar muat truk, terkunci pada malam hari. Sisi selatan jalan tidak bertrotoar, hanya pagar kawat dgn kawat berduri utk melindungi sejenis tempat penyimpanan mesin. Sepertinya aku sampai di bagian kota yg bukan diperuntukan utk pengunjung. Aku tersadar hari mulai gelap, awan-awan akhirnya berkumpul lagi di langit barat, membuat matahari terbenam lebih awal. Langit timur masih bersih tapi mulai kelabu dgn semburat merah jambu dan jingga. Dan dingin yg kurasakan membuatku bersedekap erat-erat. Lalu sebuah mobil melintas di depanku, dan jalanan kembali kosong.

Tapi ketika aku menoleh, aku terkejut menyadari dua cowok diam-diam mengendap-endap enam meter dibelakangku. Aku langsung membuang muka dan mempercepat langkahku. Perasaan merinding yg tak ada hubungannya dgn cuaca membuatku gemetar lagi. Tak kecilku yg kuselempangkan di tubuhku, ku peluk erat supaya tidak bisa di jambret. Tapi suara ketakutan di sudut benakku mengingatkanku, mereka mungkin saja lebih dari sekedar mencuri.

Aku terus berjalan secepat mungkin tanpa benar-benar berlari, lalu sebuah mobil biru muncul dar arah yg berlawanan.
Aku dijebak.
Aku berhenti sedetik yg rasanya lama sekali. Kemudian aku berbalik dan berlari ke sisi jalan lain. Dgn hati ciut aku menyadari usahaku sia-sia. Suara langkah di belakangku semakin jelas sekarang.

"Disitu kamu ternyata, cantik." suara gelegar cowok bertubuh kekar itu memecahkan keheningan dan menbuatku kaget.

"Ya.." suara keras menyahut dari belakangku, membuatku terperanjat sekali lagi ketika mencoba berlari. "Kita cuma ambil jalan pintas."

"Jangan dekati aku." aku mengingatkan dgn suara yg seharusnya lantang dan berani. Tapi aku benar-benar ketakutan hingga tak ada suara yg keluar.

"Jangan gitu dong, sayang." seru cowok itu, dan suara tawa liar terdengar lagi di belakangku.

Namun ketika cowok-cowok itu mulai berjalang mendekatiku, sekonyong-konyong lampu sorot muncul dari sudut jalan, dan sebuah mobil nyaris menabrak si kekar, memaksanya melompat ke trotoar. Aku berlari ke tengah jalan, mobil ini akan berhenti atau menabrakku. Tapi mobil itu tak di sangka-sangka menukik, lalu berhenti dgn salah satu pintu terbuka hanya beberapa jengkal dariku.

"Masuk," terdengar suara gusar memerintahku, suara yg sangat ku kenal, itu suara milik Elang.

Aku melompat masuk, membaning pintunya hingga tertutup.
Sungguh mengagumkan betapa cepatnya cekaman rasa takut itu lenyap, hanya sedetik setelah aku mendengar suaranya.

Dan kami meluncur dgn cepat meninggalkan tempat itu.


*****
Elang Di Kota Tua

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 15)

Aku menatap Elang dgn perasaan khawatir kalau-kalau dia marah dgn semua ucapanku tadi. Tentu saja, tapi ia tak memperlihatkannya padaku. Ia mematung sekitar dua menit di depan pintu rumahku, dan aku bingung tidak tau harus berbuat apa. Ini membuatku gelisah.

"Oke," akhirnya Elang berkata. "Aku pergi. Jaga diri kamu baik-baik yah." Suaranya datar tanpa ekspresi apapun.

Dan beberapa detik kemudian, Elang sudah lenyap, mungkin utk selamanya, akupun tak dapat memastikannya.
Perasaan bersalah menggayuti pikiranku, apa aku terlalu kasar padanya? Tapi itu mungkin lebih baik, toh tadi ia bilang lebih baik kita berjauhan. Dan itu sudah menegaskan semuanya.

Aku memutuskan utk menemui Revo lagi, setelah Elang pergi dan Revo pergi secara tidak sopan seperti itu. Aku bergegas mengendarai motorku, aku tidak terlalu memerhatikan jalan yg berkilau basah tertimpa cahaya matahari. Detik berikutnya, cahaya matahati berkilau menerpa bodi perak mengkilat sebuah motor sport yg mengekor tepat di belakangku.

"Sial." keluhku, aku tau itu motor Elang.
Aku sempat menimbang-nimbang utk menepi. Tapi aku terlalu pengecut utk langsung menghadapi amarah Elang tadi. Benar-benar pengecut pokoknya, aku langsung memutar arah menuju teman cewekku, Vega, tanpa sekalipun membalas tatapan yg bisa kurasakan membakar, melubangi spionku.

Elang terus mengikutiku terus sampai aku menepilan motorku didepan rumah Vega. Elang tidak ikut berhenti, ia melewatiku tapi aku tak berani utk mendongak melihatnya. Aku tak ingin melihat ekspresinya.

Vega membuka pintu sebelum aku sempat mengetuk, seolah-olah sejak tadi ia sudah berdiri di belakang pintu.

"Hai, La." sapanya kaget.

"Hai, Ve. Lama gak main ke rumahmu yah." aku tersipu malu, wajahku merona.

Kepanikanku sedikit berkurang, dan aku bernafas lebih teratur. Kuikuti Vega menaiki tangga menuju kamarnya. Kami langsung saja berbaring di kasurnya dan Vega mulai menceritakan semua kisah hidupnya yg belum ku tau.

"Gimana kamu ama Elang?" tiba-tiba saja pertanyaan Vega mengejutkanku.

Aku tak menjawab, hanya mengangkat bahuku, dan tersenyum kecut.

"Ada masalah?" tanya Vega lagi, suaranya rendah sekarang. "Kayaknya kamu gelisah."

Aku tersenyum malu-malu. "Keliatan banget yah?"

"Gak juga."
Mungkin Vega berbohong utk menenangkan perasaan hatiku.

"Kamu gak perlu cerita kalo emang gak mau," Vega meyakinkanku. "Aku bakal dengerin kalo kamu pikir itu bisa ngebantu. Aku gak bakal ikut campur." janji Vega.

"Gak," ujarku. "Kamu bener. Aku emang gelisah. Tentang...tentang Elang."

"Emangnya ada apa?"

Mudah sekali mengobrol dgn Vega. Kalau ia bertanya seperti itu, aku tau ia bukan sekedar ingin tau atau mendengarkan gosip, tapi ia peduli pada kegelisahanku.

"Oh, Elang marah ama aku."

"Hmm...aku gak bisa ngebayanginnya." kata Vega. "Kenapa dia marah?"

Aku menarik nafas. "Kamu masih inget ama Revo?"

"Oh.." ucap Vega. "Dia cemburu."

"Gak, bukan cemburu...." seharusnya tadi aku tidak usah cerita. Toh aku takkan bisa menjelaskan dgn benar. Tapi aku benar-benar butuh seseorang utk berbagi.

Aku kaget melihat Vega menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Apa?" tanyaku.

"Pelangi, aku pernah liat sendiri cara Revo natap kamu. Berani taruhan, masalahnya itu sebenernya cemburu."

"Tapi aku gak ada apa-apa ama Revo."

"Buat kamu mungkin gak ada apa-apa. Tapi buat Revo..."

Kenigku berkerut. "Revo tau gimana perasaanku. Aku uah cerita semuanya ama dia."

"Elang kan cuma cowok biasa, La. Wajar kalo dia marah ama kamu, cowok-cowok lain juga bakal ngelakuin hal yg sama seandainya ada di posisi Elang."

Aku meringis. Tidak bisa menanggapi.

Vega menepuk-nepuk pundakku. "Elang pasti bisa ngatasin masalahnya dgn cara dia sendiri. Dia cuma butuh waktu. Elang gak suka ama Revo....Itu pasti sulit buat dia."

Aku separuh tersenyum getir.


*****
Amarah Atau Kecemburuan Elang

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 14)

Hari tlah sore, seseorang mengetuk pintu rumahku. Tak terduga sama sekali, Revo datang. Wajahnya kelihatan lebih sehat dan tak pucat lagi
Ku buka pintu iyu dan membiarkannya masuk, Revo terlihat lebih ceria. Dan aku senang.

"Kamu udah sembuh?" tanyaku terlalu antusias.

Revo hanya tersenyum dan mengangkat kedua bahunya. "Gimana kabar kamu, La?"

Aku terdiam menunduk sambil menggigit-gigit bibirku sendiri.

"Kamu berantem yah ama Elang?" tebak Revo curiga. "Kenapa La?"

Aku menghela nafas panjang. "Aku rasa aku mesti jauhin dia dari sekarang."

Alis Revo terangkat, heran dan tak percaya. "Gak mungkin bisa, La. Dia tuh udah kaya candu buat kamu, aku yakin ini cuma bersifat sementara." papar Revo sedikit mengejekku. "Kamu tau La, aku berharap aku bisa jadi udara atau matahari buat kamu, saat si candu gak ada."

"Aku emang nganggep kamu kaya matahari. Matahari pribadiku yg menghangatkan hari-hari aku saat ada awan hitam."

"Kalo awan hitam mah, aku masih bisa ngelawan, kalo Elang mah udah kaya hmm...gerhana mungkin, yg nutupin matahari tanpa tawar menawar lagi dari kamu, tau?" jelas Revo jengah.

"Udahlah, aku gak mau bahas dia." desahku lelah.

Tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu lagi, Revo menatapku dan aku balik menatapnya, bertanya-tanya siapa orang itu. Dgn enggan aku beranjak dari sofa dan menuju pintu utk membukakannya. Dan Elang berdiri sempurna di depanku sedang menatapku penasaran. Raut wajahnya frustasi terpancar dari matanya yg hitam. Aku balas menatapnya garang, berharap ia memalingkan wajahnya dariku. Tapi ia malah terus menatap tajam mataku. Tak di ragukan lagi aku langsung berpaling menatap Revo.

Revo bangkit dari sofa dan pamit pulang. Mungkin ia merasa tak enak dgn kehadiran Elang, dan aku hanya tersenyum getir menatap kepergian Revo.

"La..." Suara Elang seharusnya tidak sefamilier itu, seolah-olah aku telah mengenalnya sepanjang hidupku.

Perlahan aku menatapnya, enggan. Aku tak ingin merasakan apa yg ku tau akan ku rasakan ketika aku memandang wajahnya yg sempurna iu. Ekspresiku hati-hati ketika akhirnya menghadapnya, ekspresi Elang malah tak bisa ku tebak. Ia tidak mengatakan apapun.

"Apa?" akhirnya aku bertanya, ada nada kesal menyelinap di dlm suaraku.

Bibir Elang mengejang, berusaha tersenyum. "Gak papa," sahutnya.

Aku memejamkan mata dan menarik nafas pelan, sadar aku menggertakan gigi. Elang menunggu.

"Trus kamu mau apa, Elang?" aku bertanya, mataku tetap terpejam, lebih mudah berbicara rasional pdnya dgn cara ini.

"Aku minta maaf." Ia terdengar tulus. "Aku tau sikapku kasar banget. Tapi lebih baik kaya gitu, beneran."

Aku membuka mata. Wajah Elang sangat serius. "Aku gak ngerti maksud kamu," kataku, hati-hati.

"Lebih baik kalo kita berjauhan," Elang menjelaskan. "Percaya deh, hidup kamu bakal lebih bahagia."

Mataku menyipit. Aku tak pernah mendengar itu sebelumnya.
"Sayang banget, kamu gak nyadarin itu dari awal," desisku tertahan. "Jadi kamu gak perlu repot-repot nyesel kaya gini."

"Nyesel?" katanya terperangah. "Nyesel kenapa?"

"Nyesel utk masuk ke kehidupan aku lagi."

Elang terpana. Ia memandangku keheranan.
Ketika akhirnya bicara, ia nyaris terdengar marah. "Kamu pikir aku nyesel udah kenal ama kamu? Udah bisa nyayangin kami kaya gini?"

"Aku tau, kamu ngerasa kaya gitu," tukasku.

"Kamu gak tau apa-apa." Elang sangat marah.

Aku memalingkan wajah dan menelan semua tuduhan liar yg ingin aku lontarkan padanya. Aku terdiam sesaat, sempat berpikir utk pergi saja. Lalu aku menghela nafas lagi.

"Iya emang, aku gak tau apa-apa tentang kamu." desisku lagi. " Dan itu benar adanya."

"La, kamu bener-bener aneh," katanya, suaranya dingin.

Telapak tanganku memanas, ingin sekali rasanya aku memukul sesuatu. Aku terkejut pada diriku sendiri. Aku biasanya tidak menyukai kekerasan.
"Kenapa kmu gak tinggalin aku sendirian aja?" gerutuku.

"Aku mau tanya sesuatu, tapi kamu ngalangin aku," Elang tertawa. Sepertinya selera humornya sudah kembali.

"Kamu ini punya kepribadian ganda yah?" tanyaku ketus.

"Aku mau tanya."

Aku menghela nafas. "Oke kalo gitu. Apa yg mau kamu tanyain?"

"Ngapain Revo kesini?" wajahnya kembali serius, matanya tajam menatapku.

"Urusan kamu apa?" kataku ketus.

"Aku gak suka."

"Itu urusan kamu, bukan aku." tukasku. "Aku mau deket ama siapa aja, mau ngapain aja, itu bukan urusan kamu dan kamu gak punya hak utk bilang gak suka ama apapun yg aku lakuin. Jelas?" kataku penuh amarah. "Karna kamu bukan siapa-siapa aku!"

Elang mematung, sorot matanya penuh dgn emosi. Dan aku tak peduli.



******
Matahari Dan Elang

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 13)

Akhirnya Elang mendongak ketika melihat aku bangkit dari kursiku. Matanya mencari-cari mataku, penuh dgn pertanyaan sendiri.

"Kamu udah mau pulang?" tanyanya, seperti tak terjadi apapun.

Aku hanya mengangguk, terlalu marah utk berbicara.
Pelayan itu muncul seolah telah di panggil, atau mungkin dia memperhatikan kita sejak tadi.

"Jadi gimana?" ia bertanya pada Elang.

"Kita udah selesai, mau bayar. Makasih." suara Elang tenang namun agak serak, masih tegang oleh obrolan tadi.

"Oh, oke," ujar pelayan itu terbata-bata. "Ini." ia mengeluarka folder kulit kecil dari saku depan celemek hitamnya dan menyerahkannya pada Elang.

Ternyata Elang sudah menyiapkan uangnya. Ia menyelipkan ke folder itu dan menyerahkannya lagi pd si pelayan.
"Simpen aja kembaliannya." Elang tersenyum, lalu bangkit dan menahan tanganku utk tidak pergi lebih dulu.

Lagi-lagi pelayan itu tersenyum menggoda pd Elang. "Semoga harimu indah."

Elang tidak berpaling dariku ketika mengucapkan terima kasih padanya. Aku melepaskan tangannya dariku dan pergi keluar lebih dulu. Tentu saja Elang dgn mudah menyusulku. Dan sesuatu menarik jaketku hingga aku tertahan.

"Kamu pikir kamu mau kemana?" tanya Elang marah. Di cengkramnya jaketku hanya dgn satu tangan.

Aku kesal. "Pulang." cetusku.

"Apa tadi kamu pergi sendirian? Kamu pikir aku bakal ngebiarin kamu pulang sendirian, gitu? Dalam keadaan kmu yg kaya gini?" suara Elang masih marah.

"Keadaan aku baik-baik aja," pekikku. "Lepasin aku!"

Elang tak menghiraukanku. Sekarang ia menarikku ke motornya, lebih tepatnya menarik jaketku. Hanya itu yg bisa aku lakukan agar tidak terjengkang ke belakang. Kalaupun aku jatuh, barangkali ia akan tetap menyeretku.

"Lepasin!" desakku. Elang mengabaikanku. Aku berjalan terseret-seret sepanjang tempat parkir hingga kita sampai di samping motor Elang. Lalu akhirnya Elang melepaskanku.

"Kamu kasar banget!" gerutuku kesal.

Elang menaiki motornya, "Naik, La." cuma itu reaksinya.

Aku tak menjawab dan akupun tak bergerak.

"Apa aku harus nyeret kamu lagi?" ancamnya.

Aku mencoba mengumpulkan sisa-sisa harga diriku seraya naik ke motornya. "Ini bener-bener keterlaluan." desahku.

Elang tak menyahut. Dan ia langsung menyalakan mesin motornya, kamipun menerobos jalanan.

Sesampainya di rumahku, aku bergesas turun dari motornya. Dan langsung pergi tanpa kata, tapi Elang lagi-lagi menahan tanganku.

"Maafin aku yah." Elang meminta maaf, kelihatannya tulus.

Aku tak bersuara, sengaja tak menyahutnya.

"Aku pergi, kalo ada apa-apa, kamu telpon aku aja." Elang berbicara lagi, sepertinya mengerti akan diamku. "Aku tau, kamu marah ama aku."

"Aku masuk." pamitku padanya, tak menghiraukan semua omongannya.

Dan kami berpisah dlm keadaan seperti itu.


****

Aku menangis sejadi-jadinya ketika aku memasuki kamarku. Sungguh keterlaluan dia. Memangnya dia pikir dia itu siapa? Seenaknya saja menyeretku seperti itu. Aku tak kan pernah menemuinya lagi. Toh, aku sudah tau kalau keadaan akan tetap seperti ini, tak ada yg berubah. Aku tak punya arti dlm hidupnya. Ia hanya teman, dan seharusnya aku yg sadar diri siapa aku utknya?
Dan mulai sekarang, aku hanya akan bergerak di ruang batasan hidupku sendiri.


******
Keputusan Pelangi

Kamis, 21 Juli 2011

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 12)

Kafetaria itu tidak terlalu ramai pengunjung. Seorang pelayan wanita datang menghampiri meja kami. Ku lihat sorot matanya ketika menatap Elang, ia menyambut Elang dgn keramahan yg lebih dari seharusnya, dan itu sangat menggangguku. Elangn tersenyum sempurna kpd pelayan itu, senyuman itu membuat cewek itu terpana sesaat. Dan pelayan itu menyelipkan helaiam rambut hitam pendeknya di belakang telinga, dan tersenyum di buat-buat.

"Kalian mau pesan apa?" tanyanya hanya menatap Elang. Tentu saja aku menyadari, ia hanya bertanya pada Elang.

Elang memandangku.
"Aku mau sandwich ama lemon tea panas." kataku pd Elang.
"Dua." kata Elang pd pelayan itu.
"Aku akan kembali dgn pesanan kalian." pelayan itu meyakinkan Elang sambil lagi-lagi senyum di buat-buat. Tapi Elang tidak memandangnya. Ia sedang memerhatikanku.

"Seharusnya kamu gak perlu kaya gitu ama tuh cewek," aku mengkritik Elang ketika pelayan itu pergi. "Gak adil."

"Kaya gitu, kaya gimana?"

"Ngebuat cewek tadi terpesona kaya gitu mungkin sekarang tuh cewek lagi sesak nafas di dapur." jelasku.

Elang tampak bingung.
"Oh, ayolah," aku berkata ragu. "Kamu pasti tau gimana reaksi cewek-cewek ke kamu."

Elang memiringkan kepala, sorot matanya penasaran. "Aku ngebuat cewek terpesona?"

"Kamu gak sadar?"

Elang mengabaikan pertanyaanku. "Apa aku ngebuat kamu terpesona?"

"Sering kali." aku mengakuinya.

Pucuk di cintz ulam tiba, pelayan yg tadi muncul membawa pesanan kami. Ia berdiri memunggungiku sambil menaruh makanannya di atas meja. Dan lagi-lagi ia tersenyum di buat-buat oada Elang, tapi Elang tidak melihatnya, dan pelayan itu pergi meninggalkan kami dgn perasaan kecewa.

"Makan dulu." Elang menyuruhku.
Ku gigit sandwich-ku perlahan, seraya memerhatikan wajah Elang.

Elang balik menatapku terkesima. "Apa?"

"Kamu tau gak, kamu selalu lebih pemarah kalo kamu lagi laper atau ngantuk." kataku, berusaha terlihat cuek.

Mata Elang menyipit. "Teori lagi?"

Aku masih berusaha terlihat cuek, tak peduli.

"Oke, aku harap kamu kreatif kali ini, atau kamu masih mengutip dari buku?" senyumnya mengejek, namun tatapannya masih tegang.

"Gak juga, aku gak dapetin itu dari buku, tapi aku juga gak nebak-nebaknya sendiri," aku mengakui.

"Terus?" sambar Elang tak sabar.

"Aku ceritain ntar aja, kalo..." aku berhenti bicara.

"Sok misterius kamu, La. Pasti ada syaratnya deh. Iya kan?" sahutnya jengah.

"Ya udah pasti itu mah, aku punya beberapa pertanyaan." kataku nyengir.

"Apa? Cepetan!" desaknya, makin tak sabar.

"Kenapa pagi ini, kamu dateng nemuin aku?" aku memulai pertanyaanku.

Elang menunduk, perlahan-lahan melipat tangannya di meja. Meski menunduk, bisa ku lihat matanya berkilat menatapku dari balik bulu matanya, mengejekku.
"Yang lainnya."

"Hey, tapi itu pertanyaan paling gampang" ujarku protes, karna ia tak menjawab pertanyaan pertamaku.

"Yang lainnya." Elang mengulangi perkataannya tanpa menghiraukan protesku.

Aku menunduk kesal. "Oke kalo gitu," aku memandangnya marah, dan perlahan melanjutkan pertanyaan. "Kamu nganggep aku ini siapa?" aku berkata ragu-ragu.

Aku menatapnya dgn ragu dan ia memalingkan wajahnya, sengaja.
Aku menunggunya berbicara, menjawab pertanyaanku tadi. Tapi Elang hanya terdiam, mematung.

"Oh, oke..." kataku pada akhirnya. "Lupain aja pertanyaan tadi, aku udah kenyang. Mau pulang." aku bangkit dari kursiku, berlagak cuek mencoba menyembunyikan kekecewaanku.



*****
Kebimbangan Elang

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 11)

Keesokan paginya, setelah semua pengakuan Elang kemaren sore itu, sulit berdebat dgn bagian diriku yg yakin bahwa kemaren adalah mimpi. Logika tak berpihak padaku, ataupun akal sehat. Aku bergantung pada bagian yg tak mungkin cuma khayalanku.

Cuaca pagi ini sangat berkabut, lebih dari biasanya, udara nyaris tertutup kabut. Embun sedingin es menerpa kulit leher dan wajahku, ketika aku baru saja keluar dari rumah.

Aku tak tau darimana datangnya, tapi tiba-tiba Elang sudah ada disana, di halaman depan rumahku, menungguku.

"Mau aku anter?" tanyanya, tersenyum melihat ekspresiku berkat kejutan yg di berikannya pagi ini. Ada keraguan dlm suaranya. Ia benar-benar memberiku pilihan, aku bebas menolak, dan sebagian dari dirinya berharap begitu. Harapan yg sia-sia.

"Iya, makasih," kataku, berusaha tetap tenang. "Kita naik apa?" aku menyadari bahwa Elang tak membawa mobilnya.

"Hmm...naik motor," sahutnya terbata-bata, ia melirik utk melihat ekspresiku.

"Oh." aku hanya mendesah. Ku lihat motor sport-nya terparkir di pinggir jalan raya.

"Nih, aku bawa jaket buat kamu. Aku gak mau kamu sakit atau apa gitu." suaranya hati-hati, menyodorkan jaket berwarna cream muda padaku.

Aku sendiri melihat ia tak mengenakan jaket, hanya kaos rajut lengan panjang berkerah V warna abu-abu muda.
"Aku gak selemah itu, tau." kataku, tapi ku ambil jaket itu, mendorong lenganku ke lengan jaket yg kelewat panjang, dan aroma tubuhnya melekat sempurna di jaket itu.

"Masa sih?" ia meragukan, suaranya sangat pelan bernada sedikit mengejek, tapi aku tak menghiraukannya.

Kami mengemudi melewati jalanan yg berkabut menuju kafetaria terdekat utk ssrapan. Ia melajukan motornya sangat cepat, terasa canggung. Setidaknya aku merasa begitu, ketika aku harus melingkarkan lenganku ke perutnya.
Ketika kita sampai, ia mempersilakanku duduk. Kita memilih meja paling sudut di kafe itu.

Keadaan seperti ini membuat lidahku kelu. Aku menunggunya memulai pembicaraan.

Elang nyengir padaku. " Apa hari ini gak ada rentetan pertanyaan aneh?"

"Apa pertanyaan-pertanyaanku ganggu kamu?" aku berbalik tanya.

"Gak juga, tapi reaksi kamu itu yg aneh." Elang kelihatan bergurau, tapi aku tak yakin.

Aku cemberut, "Aku konyol yah?"

"Gak, itu masalahnya. Kamu cuma diem, tenang banget keliatannya. Aku kadang mikir, kmu tuh mikirin apa sih?"

"Aku slalu ngomong apa yg aku pikirin."

"Kamu mengeditnya," tuduhnya.

"Gak terlalu banyak kok."

"Tapi cukup ngebuat aku gila."

"Salah sendiri, kenapa kamu pengen tau terus." Aku menjulurkan lidahku berniat mengejeknya.

Elang terlihat sedikit kesal.

"Aku boleh tanya gak?" kataku berlagak polos, karna aku tau Elang kehilangan mood sedikit.

"Tanya aja." jawabnya singkat tanpa ekspresi.

"Kalo kita lagi naik pesawat, terus pilot pesawat yg kita naikin tuh teler, mabok berat. Hmm...apa yg bakal kamu lakuin?" tanyaku tersenyum jail.

"Gampang," sahutnya enteng. " Aku yg bakal nerbangin pesawatnya."

Aku cemberut lagi, tentu saja ia bisa melakukan itu. "Kalo kotak bahan bakarnya meledak pas kamu yg nerbangin pesawatnya, gimana?" tanyaku tak mau kalah.

"Hmmm...." Elang berpikir, tapi hanya beberapa detik saja. "Aku bakal ngebiarin pesawatnya mendarat perlahan dulu, terus aku ama kamu dobrak pintu daruratnya, kalo pesawatnya udah mau nyentuh tanah, kita pura-pura jalan tersaruk-saruk, seolah-olah cuma kita korban yg selamat." jelas Elang panjang, dan di akhir kalimatnya, ia tertawa.

"Huhh...sebel ah, kamu."

"Kenapa? Kalah yah?" ucap Elang mengejekku.

"Gak tau ah, aku laper. Cepetan pesen makanannya sih." gerutuku.

"Kamu lucu." katanya, seraya membelai rambutku.


*****
Indahnya Pelangi

Rabu, 20 Juli 2011

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 10)

Revo sakit, dan aku harus menemuinya sesegera mungkin.
Ku pacu diriku menerobos hujan di pagi ini hanya utk menemui Revo, ia terbaring lesu di ranjangnya saat aku menemuinya. Wajahnya yg slalu ceria, kini tampak pucat.

"Hai," sapaku setengah berbisik pada Revo, namun ia tidak menyahut. "Gimana perasaan kamu, Vo?" gumamku. Pertanyaanku benar-benar bodoh.

"Agak pusing. Mungkin karna pengaruh obat kali." jawab Revo, ia tersenyum mengejek.

Aku mengigit bibir. Entah bagaimana aku bisa menuntaskan masalah ini.
Humor kecut dari wajah Revo lenyap, dan sorot matanya menghangat. Keningnya berkerut, seperti khawatir.

"Kamu baik-baik aja, La?" tanyanya, kedengarannya prihatin.

"Aku?" Ku pandangi dia. "Emangnya aku kenapa?"

"Hmm...maksud aku, tentang Elang. Apa dia marah kalo kamu dateng kesini? Oke, aku tau dia gak suka aku, apa lagi kalo dia tau aku sayang ama kamu, La. Dia pasti ngamuk. Maafin aku yah, La. Aku gak ada maksud ngerusak hubungan kalian..."

Baru beberapa saat kemudian aku mengerti. Revo mengoceh terus, semakin lama semakin canggung, sampai aku memahami apa yg di katakannya. Lalu aku buru-buru meyakinkannya.

"Gak, gak kok! Aku baik-baik aja. Terlalu baik malahan. Dia gak ngamuk kok." Aku mendesah, "Kalo aja kaya gitu."

Mata Revo membelalak kaget. Lalu ia mendesah. "Dia pintar memanipulasi orang ternyata."

"Elang gak memanipulasi aku! Lagipula dia gak punya hak marah ama aku, kalo aja kamu tau, kita gak balikan tau!"

"Jadi kamu gak pacaran lagi ama dia?" seru Revo tampak gembira.

Aku menggelengkan kepalaku.

"Kenapa gak, La?" tanya Revo lebih tenang dari sebelumnya.

"Karna aku dateng kesini bukan utk ngebahas masalah itu ama kamu!" cetusku tajam.

***

Pagi yg cerah, walaupun bukan suasana hatiku yg ceria. Tapi setidaknya sedikit perasaan terkendali, perasaan bisa menerima.
Aku tau kejadian kemarin sangat melukai hati Revo, dan entah mengapa aku ikut merasakannya. Aku ingin dia bahagia, tapi aku malah menyakitinya.

Dan beberapa menit saja, Elang datang dgn sorot mata yg was-was dan khawatir.

"Hai." sapaku. Suaraku serak.

Elang tidak menyahut. Ia menatapku, menunggu aku menangis, mungkin.

" Aku gak papa, aku baik-baik aja." janjiku.

Elang merengkuh kedua pipiku. "Kamu yakin? Aku gak pernah liat kamu sesedih itu..." suaranya pecah saat mengucapkan kata terakhir.

Tapi aku sudah pernah mengalami yg lebih sedih daripada ini.
Ku sentuh bibirnya. "Iya."

"Gak tau lah..." kening Elang berkerut. "Aku tau, kamu sayang ama Revo. Kenapa kamu nolak dia, kalo itu nyakitin kamu juga?"

"Elang, aku tau dgn siapa aku gak bisa hidup." jawabku.

"Tapi..."

Aku menggeleng. "Kamu gak ngerti. Kamu mungkin cukup tabah atau mungkin cukup kuat utk hidup tanpa aku, kalo emang itu yg terbaik. Tapi aku gak akan sanggup ngorbanin diriku kaya gitu lagi. Aku harus bersamamu, karna cuma dgn kaya gitu aku bisa hidup." jelasku pada Elang.

Elang masih tampak ragu.
Ku rengkuh kedua pipinya. "Jikalau yg lain-lain lenyap, tapi kau ada, aku akan tetap ada. Namun jikalau yg lain-lain bertahan tapi kau lenyap, jagat raya akan berubah menjadi tempat yg sangat asing. Dan aku tau tanpa siapa aku tak bisa hidup." ucapku perlahan, aku tau Elang mengerti semua itu.

Senyum kecil menghiasi wajahnya yg sempurna. "Aku tau persis maksudnya." Di peluknya pinggangku. Ia mempererat pelukannya dan berbisik di telingaku. "Aku tak sanggup hidup tanpa hidupku! Aku tak sanggup hidup tanpa jiwaku!"

"Bener banget," ucapku pelan. " Itu yg aku maksud."

"Aku sayang kamu, La." akhirnya Elang mengucapkan kata yg selama ini aku tunggu.

"Aku juga." desahku pelan seraya mendaratkan kepalaku ke dadanya.

"Aku tau." sahut Elang terkekeh, membelai lembut rambutku.


*****
Pengakuan Elang

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 9)

"Aku ngerti satu hal," ucap Revo, setelah beberapa menit ia terdiam mendengar penjelasanku. "Ini semua konyol, La. Gimana kamu bisa bilang Elang itu orang yg paling, sedangkan kamu sendiri belum punya waktu utk ngeliat dunia luar selain Elang?"

Giliran aku yg terdiam sekarang. "Aku gak tau, Vo." kataku menerawang. "Aku hanya ngeliat dia, bahkan saat dia gak ada di samping aku. Dan aku tau ini konyol."

"Tapi kamu punya pilihan, La."

"Aku gak mau milih." ketusku tegas. "Berhentilah berharap ama aku, Vo. Pasti nanti bakal ada cewek yg ngebuat kamu jatuh cinta."

Jawaban Revo datar dan langsung. "Gak akan pernah."

"Tapi itu bukan sesuatu yg bisa kamu kendaliin, kan?" tanyaku skeptis.

Revo terdiam beberapa menit lagi. Tanpa sadar kami berjalan semakin lambat, nyaris tak bergerak sama sekali.

"Seharusnya emang gak," Revo mengakui. "Tapi aku gak akan ngeliat cewek lain selain kamu, La."

Aku menjatuhkan pandanganku ke batu-batu. Kita tak melangkah lagi.

"Mungkin sebaiknya aku pulang." desahku.

"Jangan!" protes Revo, terkejut karna harus berakhir seperti ini. "Maaf, aku gak akan kaya gitu lagi, aku cuma akan jadi temen kamu." lanjut Revo meminta maaf.

Aku mendesah. "Tapi kalo itu yg kamu pikirin..."

"Jangan khawatir," sergah Revo, tersenyum dgn keceriaan yg di buat-buat. "Aku bakal nyadar diri kok, siapa aku."

Aku merasa bersalah pada Revo. Aku memang menyayanginya tapi tak seperti yg ia bayangkan. Aku hanya ingin melihatnya bahagia, dan itu juga berlaku pada semua kluargaku. Tapi rupanya ia menginginkan lebih dari sekedar persahabatan.

****

Setelah kejadian itu, aku pulang.
Aku tertidur di ruang tamu di rumah. Hari sudah senja waktu aku terbangun, aku merasa linglung, tapi aku tau hari belum berganti esok. Dengan mata terpejam, aku meregangkan otot-ototku, dan berguling ke samping. Sedetik kemudian aku baru sadar, aku tidur di sofa, dan gerakan tadi membuatku jatuh ke lantai.

Lalu terdengar suara lembut dari balik pintu rumahku. "Maaf." itu suara Elang. " Aku gak bermaksud bangunin kamu."

Aku berdiri, mematung.
"Hmm...aku udah bangun dari tadi kok, cuma jatuh." kataku terbata-bata.

Elang mengulurkan tangannya, dan aku menyambutnya. Ia menarik tubuhku lebih dekat lagi padanya. Kedua lengan Elang melingkari tubuhku, mendekapku di dadanya. Bibirku mencari-cari, menjelajahi daerah sekitar kerongkongannya, ke dagunya, sampai aku akhirnya menemukan bibirnya.

Elang menciumku lembut sesaat, kemudian terkekeh.
"Padahal aku udah siap-siap di marahin ama kamu karna pergi gak pamit tadi pagi, tapi malah ini yg aku dapet. Seharusnya aku lebih sering buat kamu marah."

"Kasih aku satu menit utk siap-siap," godaku, menciumnya lagi.

"Akan aku tunggu selama yg kamu mau," bisik Elang di bibirku. Jari-jarinya menyusup kedalam rambutku.

Nafasku mulai memburu. Tangan Elang melingkari sikuku, bergerak lambat menuruni lengan, melintasi rusukdan terus ke pinggang, menyusuri pinggul dan turun ke kaki, memeluk lutut. Ia berhenti disana, tangannya melingkari tungkaiku.
Aku berhenti bernafas, dan bibir Elang mulai menyusuri leherku. Hangat dan lembut.

Namun tiba-tiba saja, ponselku berdering dan itu mengejutkan kita berdua.

"Matikan saja." perintah Elang langsung menyambar ponselku dan menekan tombol off.

Lalu lidahnya menjelajahi lekuk bibirku dgn lembut. Kepalaku berputar cepat, nafasku memburu. Ini di luar kuasa, aku tak tahan lagi.

Elang mendesah, dan menghentikan semuanya, lalu berkata "Aku sudah melampaui batas..."

Dan kita tertawa.


*****
Tetap Elang Walau Ada Yang Lain

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 8)

Minggu ini benar-benar kacau.
Aku tau pada intinya tak ada yg berubah. Teorinya, lebih mudah mengatakan tidak usah panik daripada melakukannya. Pendek kata, ini minggu yg sangat buruk. Dan hari ini adalah hari terburuk.

Hariku memang slalu buruk kalau Elang tak ada. Aku tak kan pernah mengaku padanya betapa sulitnya bagiku kalau dia tak ada, bagaimana itu slalu memunculkan kembali mimpi-mimpi buruk saat dia pergi dulu. Seandainya Elang tau, itu akan membuatnya merasa tidak enak dan takut meninggalkanku, bahkan utk alasan terpenting sekalipun.
Bagaimanapun, kayaknya Elang tau perasaanku yg sebenarnya. Sedikit.
Pagi ini aku menemukan pesan darinya;

Aku tak kan pernah membiarkanmu jatuh lagi.
Aku akan segera kembali, bahkan sebelum kau sempat merindukanku.
Jaga hatiku baik-baik, aku menitipkannya padamu.

Jadi sekarang minggu yg kosong melompong membentang di depanku. Humpfh...

Mungkin ada baiknya jika aku menemui Revo, sekedar silaturamhi dgn kluarga lama.
Ku pacu diriku menyusuri jalan raya yg basah akibat hujan semalam. Aku sudah megap-megap kehabisan tenaga ketika aku sampai di depan rumah Revo. Sudah lama sekali aku tak datang kesini.

Revo melihatku, dan ia berlari menghampiriku, lalu kami melompat-lompat seperti anak kecil.
Kami mulai berjalan, terlalu gembira utk duduk diam di rumah.

"Jadi gimana crita yg benernya?" tanya Revo memulai pembicaraan. "Maksud aku, sejak terakhir kali kau tenggelam dan kita....hmmm, sebelum itu, kamu tau lah maksud aku..." Revo berusaha mencari kata-kata yg tepat. Ia menarik nafas dalam-dalam dan mencoba lagi. "Yg aku maksud itu...apa semuanya langsung balik kaya dulu lagi sebelum dia pergi? Kamu maafin dia utk semua itu?"

Aku menghela nafas panjang. "Gak ada yg perlu di maafin."

Aku ingin melewati bagian ini, pengkhianatan, tuduhan, tapi aku tau kalau kita harus membicarakannya sampai tuntas sebelum beralih ke hal lain.

Wajah Revo mengerenyit, seperti baru menjilat lemon asam. " Kalo ajjah aku memotretmu waktu dia pergi meninggalkanmu beberapa bulan lalu. Itu bisa jadi bukti kuat."

"Gak ada yg harus di salahkan dan di hakimin." pekikku.

"Mungkin seharusnya ada."

"Kalo ajjah kamu tau alasannya kenapa dulu dia ninggalin aku, kamu juga gak akan nyalahin dia." tuntutku.

Revo menatapku marah beberapa detik. "Oke, buat aku kagum." tantangnya masam.

Amarah itu membuatku letih, mengiris-iris lukaku yg masih berdarah-darah, hatiku sakit karna Revo marah padaku.

"Elang pergi ninggalin aku karna menurut dia, aku bakal terus sakit hati kalo kita masih berhubungan. Menurut dia, hidup aku bakal jauh lebih baik kalo dia pergi."

Revo terperangah. Mulutnya membuka dan menutup, tak tau harus mengatakan apa. Apapun yg ia katakan jelas tidak tepat lagi utk diucapkan.

"Tapi kenapa dia balik lagi?" gerutu Revo. "Sayang banget, dia gak teguh ama pendiriannya."

"Kamu lupa yah, aku yg memintanya utk tetap disini bersamaku setelah aku hampir mati tenggelam itu."

Revo memandangiku sesaat, kemudian menyerah. Wajahnya berubah rileks, dan suara lebih tenang saat berbicara.
"Liat itu," ucap Revo, menuding seekor elang yg menukik tajam menuju laut dari ketinggian luar biasa. Elang itu naik lagi pd menit terakhir, hanya cakarnya yg memecah permukaan ombak, hanya sedetik. Lalu elang itu membumbung tinggi lagi ke udara, sayapnya mengepak-ngepak, berjuang naik dgn ikan besar dlm cengkraman cakarnya.

"Kamu ngeliat itu dimana-mana," lanjut Revo, suaranya tiba-tiba terdengar jauh. "Alam berjalan apa adanya, pemburu dan mangsa, putaran hidup dan mati yg gak pernah berakhir. Meskipun begitu, kamu gak pernah liat si ikan berusaha mencium si elang. Itu gak akan pernah terjadi." Revo nyengir mengejek.

Aku balas nyengir dgn kaku, meskipun kesinisan itu masih melekat di mulutku. "Mungkin ikannya udah berusaha," kataku. "Sulit menerka apa yg ada di pikiran si ikan. Kamu tau, Elang itu burung yg tampan banget."

"Jadi itu yah intinya?" Suara Revo mendadak terdengar lebih tajam. "Ketampanan.?"

"Jangan tolol kamu!" teriakku marah. "Bagus banget," gerutuku. "Aku tersanjung karan serendah itu aggapanmu tentang aku." aku berbalik dan berjalan menjauh.

"Aduh, jangan marah dong." Revo berada tepat di belakangku, di sambarnya pergelangan tanganku dan di balikkannya tubuhku. "Aku serius! Aku lagi memahami motivasi kamu, tapi gak bisa."

"Aku sayang Elang. Bukan karna dia tampan!" Ku semburkan kata itu pd Revo. "Aku lebih suka kalo dia gak tampan. Itu bakal ngilangin sedikit jurang perbedaan diantara kita, karna dia tetaplah Elang. Orang yg paling penuh cinta, paling gak egois, paling brilian, paling baik yg pernah aku kenal. Tentu ajjah aku cinta dia. Apa susah mahamin yg kaya gitu?"

Revo terdiam...


****
Jikalau yg lain-lain lenyap tapi Elang tetap ada, aku akan ada. Namun jikalau yg lain-lain berusaha tapi Elang lenyap, jagat raya akan terasa asing bagiku
...dan aku tau tanpa siapa aku tidak bisa hidup.



*****
Alam Dan Elang

Catatan Elang

Coba kamu jadi aku, pasti kamu bisa lihat bintang di ujung pelangi itu.

Kau adalah bintang, dan jejak langkah yg kau tinggalkan terukir indah sebagai pelangi. Ketika kau pergi menjauh dariku, aku dapat melihat bintang di ujung pelangi itu.

Itulah penjelasan Elang padaku ketika aku berkata bahwa bintang di ujung pelangi itu mustahil.

Tapi sekarang hal itu benar-benar menjadi sangat mengerikan, ketika Elang benar-benar menunjukannya, ia berkata...

Kisahku mungkin sekarang biasa
Tak istimewa lagi di dalam hatimu
Maafkan, jejak menuntunku pergi
Dan inilah saatnya aku tunjukan kau
Bintang di ujung pelangi

Aaaaarrrggghhhhh.!!!!!!
Menyakitkan!!!


*****
11th Oktober 2010

Coret-Coret Tentang Elang

Hihihihihihihiii....

Kamu tau gak, Elang...
Malam ini aku tertawa, padahal kamu gak ada, tapi mengingat semua yg tlah ku lalui bersamamu itu yg membuatku tertawa.

Baca semua pesan-pesan kamu, waktu kita marahan, kita jaim-jaiman, kita jujur, kita kesel, hehehehe.... lucu bgt kalo di baca sekarang.

Kita kaya anak kecil bgt yah.?? hihihi...
Apalagi kalau udah ejek-ejekan, hmm...gak mau ada yg ngalah, ckckck...

How i miss those momment!!!

Sangat berbanding terbalik dgn keadaan saat ini. Separah inikah???


*****
9th Oktober 2010

Untuk Elang

Masih ingatkah kau pada stiap kata yg kau ucapkan dulu?

Tentang edelwise, elang, pelangi, dan bintang di ujung pelangi itu.

Edelwise itu kini layu, tanahnya semakin luruh dari vas bunga itu.
Hampir mati ku rasa. Tapi siapa peduli? Pemiliknya saja sudah mengabaikannya. Membiarkannya kekurangan air dan cahaya matahari.

Dan pelangi itu pudar biasnya. Tidak dapatkah kau melihatnya? Tak ada lagi warna, entahlah...pelangi memang tak pernah nyata. Jauh di udara, hanya bisa di pandang tapi tak tersentuh. Pelangi hanya bayangan, gas yg tak solid, dan sudah pasti tak bertahan lama. Karna ia hanya ada setelah hujan sebelum matahari muncul lagi.

Dan kau tau, ternyata elang memang tak pernah bisa utk hidup bersama si ikan. Walaupun ia tlah mematahkan sayapnya agar tak bisa terbang lagi, tapi ia masih bisa berjalan meninggalkan si ikan di permukaan laut. Ikan yg malang, dan bodoh ku pikir.

Oia, satu lagi. Bintang di ujung pelangi itu tak kan pernah ada! Itu hanya imajinasi yg indah.

Lupakan semuanya itu lebih baik.

Hanya karna kau tak dapat menjangkau pelangi di langit sana, kau terus mencaci ketidaknyataan itu.

Elang...
Ku rasa kau memang tak butuh cinta, yg kau butuhkan hanyalah seseorang yg slalu ada di samping kamu ketika kau membutuhkan orang lain.
Taukah kau, cinta tak pernah memandang batasan, bahkan utk sesuatu yg belum pernah kau alami.
Sadarkah kau, itu semua hanya keegoisanmu semata?
Pernahkah kau dengar tentang kekuatan cinta? Keajaibannya?
Oh, mungkin tidak, ku rasa.

Sudahlah...semuanya tak mungkin utk saat ini, dan utk kali ini aku menyerah pada apa yg aku lakukan.
Sedih memang, tapi aku tak ingin membiarkan diriku retak, remuk tak berbentuk lagi.
Karna tak mungkin lagi ada orang seperti kamu yg mampu menyatukan kepingan yg sudah hancur sebelumnya.

Kau tetap berharga dan terpenting, Elang.
Tapi biar hanya di hati saja.



*****
9th Oktober 2010

Elang Dalam Diam

...Aku hanya akan mencintaimu dalam diam

Karna kalaupun ku berkata, kau tak kan percaya

Maka biarkanlah kau merasakan diamku ini

Biarkanlah hatimu merasakannya kata yg tak terucap ini

Karna ku tau, kata tak lagi bermakna tanpa bukti


*****
8th Oktober 2010

Dialah Elang

Aku tak tau harus mulai dari mana?

Aku hanya mengenalnya dgn singkat

Sulit untuk menggambarkannya

Sesosok jiwa yg begitu mempesona

Kadang dia baik

Kadang lugu

Kadang juga manja

Kadang dia lucu dan bertingkah seperti anak kecil

Kadang begitu marah

Kadang aneh

Namun kadang terlihat seperti malaikat

Kadang dia bodoh

Kadang juga menggemaskan

Aku begitu menyukainya, teramat sangat suka

Ketika ia marah, ingin aku memeluknya

Dan meredakan semua amarahnya

Ketika ia bosan, aku ingin memberi warna pada hidupnya agar terlihat lebih indah

Dan ketika ia manja

Aku ingin berada di sampingnya

Agar dia hanya bisa manja padaku



*****
4th Oktober 2010

Gak Penting Ini

Dia, dia, dia!!
Kenapa selalu dia yg ada di kepalaku?
Gosh! Siapa dia? Yg berani mengganggu ketenanganku dgn semua kegelisahan ini. I just cant get him out of my mind. Tolol!
Padahal aku tau ini menyakitkan, tapi aku malah membiarkannya, tak sanggup menepis semua pikiran ini.

Humpfh...
Kenyataan ini sangat menyedihkan. Seperti mengharapkan pelangi di malam hari saja, ketika semua orang mengharapkan bintang.


*****
3rd Oktober 2010

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 7)

Rasanya aku tidur lama sekali setelah pemulihan dari tenggelam kemarin itu. Sekujur tubuhku kaku, seolah-olah tidak bergerak sama sekali selama itu. Pikiranku linglung dan lamban, berbagzi mimpi berpusar di kepalaku. Tapi bagian yg paling kuat dan paling jelas adalah kehadiran kehadiran Elang.

Rasanya sulit membiarkan Elang pergi dan bangun. Mimpi ini tak kan ku singkirkan begitu saja ke gudang mimpi yg tak ingin ku datangi lagi. Aku melawannya dgn susah payah agar aku tak terbangun. Aku tak ingat hari apa ini, aku tak ingin bangun, tak peduli siapa yg menungguku terbangun, entah iti Refo atau siapapun.
Sesuatu yg hangat menyentuh dahiku lembut sekali.

Ku pejamkan mataku lebih rapat. Rupanya aku masih bermimpi, tapi anehnya rasanya sunggun sangat nyata. Aku sudah hampir terbangun...beberapa detik lagi, dan mimpi itu akan lenyap.

Tapi aku sadar mimpi itu terasa kelewat nyata, sehingga tak mungkin terjadi. Dgn keluhan menyerah, kubuka paksa kelopak mataku utk menghalau ilusi itu.

"Oh!" aku terkesiap kaget, dan melemparkan tinjuku ke muka.

Jelas, aku sudah kelewatan, salah besar membiarkan imajinasiku jadi tak terkendali. Di butuhkan sedetik utk menyadari bahwa Elang ada di depan mataku sekarang. Aku mengedipkan mataku beberapa kali, dan Elang masih disana, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajahku.

"Aku bikin kamu ketakutan yah?" suaranya yg rendah bernada cemas.

Ini bagus sekali sebagai mimpi. Wajahnya, aroma tubuhnya, segalanya begitu nyata.

"Oh, sial." makiku parau. Tenggorokanku seperti tersumbat.

"Kenapa, La?"

Aku mengeritkan kening pd Elang, tidak bahagia. Wajahnya malah jauh lebih cemas daripada sebelumnya.

"Aku udah mati kan?" erangku. "Aku benar-benar tenggelam. Sialan!"

Kening Elang berkerut. "Kamu belum mati, La."

"Kalo gitu, kenapa aku gak bangun-bangun juga?" tantangku.

"Kamu udah bangun, La."

Aku menggeleng. "Tentu aja. Kamu emang mau aku berpikir kaya gitu. Terus keadaan akan lebih parah kalo aku bangun nanti. Kalo aku masih bisa bangun,dan itu gak akan terjadi, karna aku udah mati. Gawat. Kasian Refo..." suaraku menghilang ngeri membayangkan apa yg tlah ku lakukan.

"Aku bisa ngerti kamu salah ngartiin aku ama mimpi buruk." senyum Elang muram. "Tapi aki gak bisa bayangin apa yg udah kamu lakuin sampe kamj masuk neraka bersama aku disini. Emangnya kamu banyak ngebunuh orang yah waktu aku pergi?"

Aku meringis. "Ya gak lah. Kalo aku sekarang ada di neraka, kamu gak akan disini sama aku."

Elang mendesah.
Pikiranku semakin jernih. Ku pandangi dia lekat-lekat...dan aku merasakan rona merah menjalari pipiku dgn hangat saat lambat laun aku menyadari bahwa Elang benar-benar ada bersamaku, tapi aku malah membuang-buanb waktu dgn menjadi idiot seperti tadi.

"Kalo giti, ini beneran?" nyaris sulit mengubah mimpiku menjadi kenyataan. Rasanya aku belum bisa menerima konsep itu.

"Tergantung." senyum Elang masih kaku. "Kalo yg kamu maksud adalah kamu terjun dari tebing dan hampir mati, ya, itu beneran."

"Aneh banget." renungku. "Aku beneran berenang yah? Kamu tau gak, aku kan gak bisa renang?"

Elang memutar bola matanya. "Mungkin kayaknya kamu tidur lagi. Kamu masih linglung.
Aku mengelak, aku tak kan menyia-nyiakan kesempatan ini. Elang ada bersamaku sekarang, dgn kedua lengannya memelukku.

Aku sanggup menghadapi apapun juga, selama ada dia.
Ku tegakkan bahuku dan berjalan maju menyongsong nasib, takdirki berjalan mantap mengiringiku.


*****
Datangnya Elang Dengan Mimpi

Perih!

Sakit...
Ini semua sungguh keterlaluan. Ku pikir dia....tapi ternyata....
Lubang di dadaku menganga lebih besar dari sebelumnya. Brengsek!

Ok, tak akan ada lagi cerita tentangmu, tak kan pernah ada!
Maafkan aku yg slalu berharap semua akan terjadi dgn indah. Sekarang aku hanya akan bergerak di ruang batasan hidupku sendiri. Kau melukai egoku, lagi...dan kali ini tak bisa ku tolerir lagi, ini sudah keterlaluan!


****
30th September 2010

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 6)

Aku ingin berenang.
Aku tau ini hal paling tolol dan paling sembrono yg pernah ku lakukan karna aku memang tak bisa berenang. Pikiran itu membuatku tersenyum. Kepedihan itu mulai mereda, seakan-akan tubuhku tau bahwa Elang masih peduli padaku, dan akan hadir ketika aku tenggelam nanti...

Aku berlari menuju tebing dan berencana akan terjun dari tebing itu ke laut di bawahnya. Laut terdengar sangat dekat, bahkan lebih dekat daripada sebelumnya. Aku melihat ke bawah membayangkan suhu air yg pasti sangat dingin. Tapi aku takkan membiarkannya menghentikanku.

Aku melangkah ke pinggir tebing, mengarahkan mata ke ruang kosong di hadapanku. Jari-jari kakiku meraba-raba ke depan tanpa melihat, mengusap-usap pinggir batu begitu menemukannya. Aku menahan nafas dalam-dalam dan menahannya...menunggu.

"Pelangi."
Itu suara Refo, dia nyata tepat di belakangku. Sial, dia menemukanku.

Aku tersenyum dan menghembuskan nafas. "Ya?" aku tidak menjawab dengan suara keras.

"Jangan lakuikn ini," pintanya. "Please."

"Tapi dia udah gak peduli aku lagi, dan dia gak mau tinggal disini ama aku lagi." aku mengingatkannya.

"Please..." hanya kata itu yg terus Refo ucapkan, dia tak mendekatiku.

Aku membungkuk dan bertumpu pd jantung kakiku.

"Jangan, La!" Refo marah sekarang.

Aku tersenyum dan mengangkat kedua lenganku, seakan-akan hendak terjun. Dan aku melemparkan tubuhku dari tepi tebing. Aku menjerit saat tubuhku melayang di udara terbuka, tapi jeritanku adalah jeritan kegembiraan, bukan takut.

Beberapa detik kemudian, Refo menyusulku. Saat itulah arus air menangkapku. Aku akan teggelam. Aku sedang tenggelam.

"Berenanglah terus!" Refo memohon dgn panik sambil berenang menuju ke arahku, berusaha menangkapku.

"Kemana?" desahku puas.

"Hentikan itu!" perintahnya. "Jangan berani-beraninya kamu nyerah, La!"

Tapi aku tak mendengarkan kata-katanya. Apa gunanya? Toh Elang sudah benar-benar pergi.

"Berjuang, La!" teriak Refo. "Sialan, Pelangi, berjuanglah terus."

Kenapa?
Aku tidak ingin berjuang lagi. Badai begitu kuat mendorongku semakin jauh dari tempat dimana Refo berenang. Aku nyaris bahagia karna semua ini akan berakhir, dan aku tak ingin berjuang lagi. Wajar saja ia marah, karna aku menyerah.

"Gak! Pelangi, gak!" Teriakan Refo begitu jauh.

Arus menang saat itu, mendorongku dgn kasar membentur benda keras. Dan benda itu menyeretku semakin dalam ke dasar laut yg gelap.
Selamat tinggal, aku cinta kamu, Elang. Adalah hal terakhir yg aku pikirkan. Dan setelah itu aku tak sadarkan diri.

Tak tau apa yg terjadi, dan saat itulah kepalaku menyembul ke permukaan. Sungguh membingungkan, padahal aku yakin aku tenggelam.
Sial, Refo berhasil menyelamatkanku.

Dan aku tertidur pulas, setelah kejadian yg memacu adrenalin itu. Aku tau Refo ada disampingku, menemaniku.
Refo tertidur di sofa sebelah ranjangku.

Aku harus bangkit, setidaknya utk minum. Tapi tubuhku ingin terus berbaring disini. Alih-alih bergerak, aku malah memikirkan film drama Romeo Juliet.

Aku bertanya-tanya dlm hati, apa yg akan Juliet lakukan kalau Romeo meninggalkannya karna kehilangan minat? Dan bagaimana bila Juliet juga mencintai Paris? Tidak sebesar cintanya pada Romeo, tentu saja. Hanya sampai Juliet ingin agar Paris bahagia juga?
Aku menempatkan diriku sebagai Juliet, Elang adalah Romeonya, dan Refo itu Paris, sungguh tolol.

Seandainya Elang benar-benar takkan kembali, adakah bedanya jika aku menerima cinta Refo atau tidak? Mungkin seharusnya aku mencoba mengais kembali kepingan-kepingan hidupnya yg masih tersisa. Mungkin itulah hal yg paling mendekati kebahagiaan yg bisa ku raih.

Aku mendesah, aku terlalu jauh menghayati kisah itu. Romeo pasti kembali. Itulah sebabnya orang-orang masih mengenang namanya, slalu di kaitkan dgn nama kekasihnya, Romeo dan Juliet. Itulah sebabnya kisah itu indah.
"Juliet dicampakan dan akhirnya bersanding dgn Paris" itu takkan pernah menjadi hits.

Dan itulah sebabnya aku masih menunggu Elang, walau Refo ada disini bersamaku.


*****
Masih Menunggu Elang

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 5)

Hari ini utk pertama kalinya setelah sekian lama, aku bertemu lagi dgn Refo. Aku merasakan dorongan antusiasme yg tidak biasa begitu melihat senyumnya. Sadarlah aku senang bertemu dengannya. Kenyataan itu mengejutkanku.

Aku membalas senyumnya, dan sesuatu terbetik dalam pikiranku bagaikan dua keping puzzle yg menyatu. Aku sudah lupa betapa aku sangat menyukai Refo Pratama.

Refo berhenti beberapa meter dariku, dan aku mendongak menatapnya dgn terkejut, kepalaku menengadah jauh ke belakang., dia semakin jangkung.
Menghabiskan waktu dengannya sungguh luar biasa, aku jauh lebih baik, paling tidak jauh lebih normal sebagai manusia. Aku menyadari emosi itu, rasanya ingin terus bersamanya.

Aku seperti menemukan obat yg dapat memuaskan kecanduanku dari kepedihan yg teramat ini.

Sore itu berlalu begitu cepat, dan aku kembali seperti semula. Aku merasakan sisa-sisa perasaan senang aneh yg ku rasakan sore tadi menyusut dari dalam diriku, di gantikan perasaan takut memikirkan apa yg akan ku hadapi sekarang.

Aku tidak kebas lagi. Malam ini akan, tidak diragukan lagi, sama mengerikannya dgn semalam. Aku berbaring di tempat tidur dan bergelung rapat-rapat, menanti datangnya bayangan tentang Elang. Ku pejamkan mataku erat-erat dan....tahu-tahu hari sudah pagi.

Ku pandangi cahaya keperakan pucat yg menerobos jendela kamarku, terperangah.
Untuk pertama kali semenjak Elang pergi meninggalkanku, aku bisa tidur tanpa bermimpi atau menjerit. Entah emosi mana yg lebih kuat, lega ataukah shock.

Aku berbaring diam di tempat tidurku selama beberapa menit, menunggu perasaan itu datang kembali. Karna pasti ada yg datang. Kalau bukan kepedihan, maka mati rasa. Aku menunghu, tapi tak terjadi apa-apa. Aku merasa lebih bugar daripada yg ku rasakan beberapa bulan belakangan ini.

Aku tak yakin ini bakal bertahan. Rasanya seperti berdiri di tubir yg licin dan berbahaya, dan bergerak sedikit saja pasti bakal membuatku tergelincir. Mengedarkan pandangan ke sekeliling kamarku dgn mata tiba-tiba jernih, menyadari betapa aneh kehilatannya, terlalu resik, seolah-olah aku tidak tinggal disini lama sekali, benar-benar berbahaya. Separah itukah aku ketika Elang pergi? Benar-benar seperti mayat hidup.

Ku tepis pikiran itu dari benakku, dan berkonsentrasi pada fakta bahwa aku akan bertemu Refo lagi hari ini. Pikiran itu membuatku nyaris merasa....penuh harapan. Mungkin akan sama seperti kemaren. Mungkin....tapi aku tak yakin ini akan bertahan juga. Tidak yakin hari ini akan sama seperti kemarin, begitu mudah. Aku tidak akan menyiapkan diri utk kekecewaan seperti itu.

***

Itu Refo. Ia berjalan menghampiriku, dan tersenyum. Dgn enteng, tanpa harus di komando lagi, bibirku merekah membentuk senyuman. Perasaan hangat yg aneh menggelegak menaiki kerongkonganku.

Hari ini lumayan aneh. Aku menikmatinya. Awalnya aku penasaran apakah itu hanya aftershock setelah kehilangan perasaan kebas, tapi menurutku itu bukan penjelasaan yg cukup masuk akal.

Aku mulai berpikir bahwa penyebab terbesarnya adalah Refo. Bukan hanya ia selalu senang bertemu denganku, atau bahwa ia tidak diam-diam melirikku dari sudut matanya, menunggu aku melakukan sesuatu yg bisa membuatku gila atau depresi. Sama sekali tak ada hubungannya denganku.

Penyebabnya adalah Refo sendiri. Pada dasarnya Refo memang periang, dan sifat periang itu terbawa dalam dirinya seperti aura, menularkannya pada siapapun yg kebetulan di dekatnya. Seperti bumi yg mengelilingi matahari, setiap kali ada orang dlm jangkauan gravitasinya, Refo membuat mereka merasa hangay. Hal yg alamiah, bagian dari dirinya yg sesungguhnya. Tak heran aku begitu bersemangat ingin bertemu dengannya.

Refo benar-benar anugrah dari para dewa, ku rasa begitulah..


*****
Memudarnya Jejak Langkah Elang Dan Pelanginya

Maybe For You Is Just a Chapter Of Book

Aku ingin berarti, walaupun hanya selintas dari kehidupanmu. Mungkin aku hanya satu mozaik dari buku hatimu. Tapi tidakkah kau tau bahwa lembaran buku hatiku tlah penuh olehmu?

Membuangnya...
Mungkin itu lebih baik, tapi sulit utkku lakukan.
Ku tak ingin melupakanmu, tapi akupun tak mau memikirkanmu.

Hhhhhhhhhh....mbuhlah, gak bisa bikin note bagus sekarang, hheu...

U mean everything for me !!


*****
25th September 2010

Di Ujung Pelangi

Dan kisah kitapun berakhir di ujung pelangi

Rasa yg kau beri tlah kau bawa kembali

Entah apa yg tersisa

Untai lagu mengiring dosa termanis?

Atau sejengkal sesal apa rasa yg tak kekal?


*****
21th September 2010

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 4)

Ku tunggu perasaan kebas itu kembali, atau kepedihan itu. Karna kepedihan itu pasti datang. Aku sudah melanggar aturanku sendiri. Alih-alih menghindar dari kenangan, aku malah maju dan menyapanya. Ada harga yg harus ku bayar, aku yakin itu. Aku merasa terlalu sadar, dan itu membuatku takut.

Tapi kelegaan masih merupakan emosi terkuat dalam diriku, kelegaan yg berasal dari lubuk hatiku yg terdalam.

Meski berjuang keras utk tidak memikirkan dia, aku tidak berjuang utk melupakannya. Aku khawatir, di larut malam saat kelelahan kurang tidur mematahkan pertahananku, semua itu berangsur-angsur lenyap. Bahwa pikiranku berlubang-lubang seperti saringan, dan bahwa suatu saat nanti aku tak lagi bisa mengingat warna jejaknya dgn tepat, warna indah dari pelangi itu.
Aku tidak bisa memikirkannya, tapi aku harus mengingatnya.
Karna tinggal datu hal yg perlu ku yakini agar aku bisa hidup, aku harus tau dia ada. Itu saja. Yg lain-lain masih bisa ku tahan. Pokoknya asal dia ada.

Itulah sebabnya aku merasa terperangkap disini, di hubungan ini daripada sebelumnya. Seharusnya itu bukan masalah, karna tidak akan kembali lagi seperti dulu, tapi rasa ini...
Tapi kalau aku pergi, menghilang, bagaimama aku bisa yakin dia nyata? Dimana aku tidak pernah bisa membayangkan dia, keyakinan itu akan memudar... dan itu tidak bisa ku terima.
Terlarang utk di ingat, takut utk di lupakan, sungguh sulit menjalaninya.

Aku menyerah pada kepedihan.
Hal ini benar-benar melumpuhkan, sensasi bahwa sebuah lubang besar menganga di dadaku, merenggut semua organ pentingku, dan meninggalkan bekas luka yg masih basah dan berdarah di sekelilingnya, yg masih tetap berdenyut nyeri dan mengeluarkan darah meski waktu terus berjalan. Secara rasional aku tau paru-paruku masih utuh, namun aku megap-megap menghirup udara dan kepalaku berputar seolah-olah segenap usahaku sia-sia. Jantungku juga pasti masih berdetak, tapi aku tak bisa mendengar detaknya di telingaku, tanganku terasa biru kedinginan.. Aku meringkuk seperti bayi, memeluk dada seperti memegangi diriku agar tidak hancur berantakan. Aku berusaha menggapai perasaan kelu dan lumpuh, penyangkalanku, tapi perasaan itu meninggalkanku.

Meski begitu, kudapati bahwa ternyata aku dapat bertahan. Aku sadar, aku merasakn kepedihan itu, perasaan kehilangan, tapi semua itu masih bisa ku tahan. Aku bisa melewatinya. Walaupun rasanya kepedihan itu tidak melemah seiring berjalannya waktu, tapi aku jadi semakin kuat menahannya.

Apapun yg terjadi saat ini, itu tlah membangunkanku.
Utk pertama kali dalam kurun waktu lama, aku tidak tau harus mengharapkan apa...


****
Bertahan Diantara Bias Pelangi

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 3)

 Sekarang, setiap malam aku memang selalu bermimpi buruk. Mimpiku selalu sama, karna selalu mimpi buruk yg sama. Tapi mimpi itu tak pernah gagal membuat aku ngeri, dan baru berakhir setelah aku menjerit terbangun.
Mimpi burukku mungkin bahkan tidak menakutkan bagi orang lain. Tidak ada hantu, setan, atau sebangsanya.

Hanya ada kehampaan. Hanya pepohonan berlumut membentang sejauh mata memandang, begitu sunyi hingga kesunyian itu menekan gendang telingaku. Suasana gelap, seperti senja di hari berawan, hanya ada seberkas cahaya tertinggal utk melihat bahwa tidak ada yg bisa di lihat. Aku bergegas menembus keremangan tanpa jalan setapak, selalu mencari, mencari, mencari, makin lama makin panik sementara waktu terus berjalan, berusaha bergerak lebih cepat, meski kecepatan membuat kakiku kikuk... Kemudian aku akan sampai pada satu titik dlm mimpiku, dan aku bisa merasakannya datang sekarang, tapi rasanya aku tak pernah bisa menggugah diriku utk bangun sebelum saat itu tiba, saat aku tidak bisa mengingat apa yg sebenarnya ku cari. Waktu aku sadar tidak ada apa-apa yg bisa kucari, dan tidak ada apa-apa yg bisa ditemukan. Bahwa tak pernah ada apa-apa, dan tidak akan pernaha ada apa-apa lagi utkku... tidak ada apa-apa kecuali kehampaan...

Biasanya saat itulah teriakanku di mulai.
Mimpi buruk itu menggayuti pikiranku dan membuatku memikirkan hal-hal yg akan membuat aku sedih. Aku tak ingin mengingat Elang. Bahkan saat aku bergidik dan menepisa bayangan-bayangan itu, aku merasa air mataku merebak dan mulai menyarapi tubir lubang di dadaku. Dan ku peluk tubuhku sendiri agar tetap utuh.

"Nantinya aka terasa seolah-olah aku tak pernah ada."
Kata-kata itu berkelebat di benakku, tak lagi terdengar jelas dan sempurna seperti halusinasi semalam. Sekarang itu hanya kata-kata, tanpa suara, seperti tulisan yg tercetak di buku. Hanya kata-kata, tapi kata-kata itu mengoyak lubang di dadaku hingga terbuka lebar, perih.

Aku bertanya-tanya berapa lama ini akan berlangsung. Mungkin suatu saat nanti, bertahun-tahun dari sekarang, bila kepedihan itu mereda hingga ke tahap aku sanggup menanggungnya, aku akan bisa mengenang kembali datu bulan terpendek yg akan slalu menjadi masa terindah dlm hidupku. Dan, jika kepedihan ini bisa cukup mereda hingga membuatku mampu berbuat begitu, aku yakin aku akan merasa bersyukur atas waktu yg pernah dia berikan padaku. Lebih dari yg ku minta, lebih dari yg pantas kuterima.

Tapi bagaimana jika lubang ini tak pernah membaik?
Bila tubirnya yg basah tak pernah sembuh? Bila kerusakannya permanen dan tak bisa di perbaiki lagi?

Ku dekap diriku lebih erat lagi. "Nantinya akan terasa seolah-olah aku tak pernah ada," pikirku merana. Janji yg sungguh tolol dan mustahil di tepati! Seolah-olah dia tak pernah ada? Itu gila namanya. Janji yg takkan pernah bisa dia tepati yg dilanggar segera setelah dia membuatnya.

Ini membuatku merasa tolol, karna berpikir utk slalu menepati janjiku. Dimana logisnya, menepati kesepakatan yg sudah dilanggar pihak satunya? Siapa yg peduli kalau aku jatuh dan terpuruk tanpa dia disini? Tak ada alasan menghindar dari kesedihan dan keterpurukan jiwa, tak ada alasan mengapa aku tak boleh bersedih.

Aku tertawa meski pikirku itu tidak lucu, masih megap-megap menghirup udara. Humor tidak lucu itu mengalihkan perhatianku, dan meredakan kepedihan hatiku. Nafasku mulai mudah, dan aku bisa duduk bersandar ke kursi. Walaupun pagi ini cuaca masih dingin, tapi dahiku basah oleh keringat.


*****
Masih Tentang Jejak Sang Elang

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 2)

Entah apa yg ku lakukan disini.
Apakah aku berusaha mendorong diriku kembali ke keadaan seperti mayat bernafas? Apakah aku sudah berubah menjadi masokis (senang disiksa)? Ini bukan hal yg sehat utk dilakukan.

Tapi aku terus saja berjalan pelan menembus jalan yg di tumbuhi semak-semak liar di kiri-kanannya, meliuk-liuk menerobos pepohonan yg melengkung di atas kepala bagai terowongan hijau yg hidup. Kedua tanganku gemetar, dan aku mengepalkan tanganku.

Aku tau sebagian alasanku melakukan ini karna mimpi buruk itu; sekarang aku benar-benar terbangun, kahampaan mimpi itu menggerogoti saraf-sarafku, seperti anjing mengkhawatirkan dimana tulangnya di kubur. Ada sesuatu yg harus dicari. Tak bisa diraih dan mustahil, tidak peduli dan tidak perhatian.... tapi itu ada diluar sana, di suatu tempat. Aku harus memercayai itu.

Sebagian yg lain adalah sensasi pengulangan yg aneh, tanggal yg kebetulan itu. Kata-kata itu memenuhi kepalaku, tanpa nada, seolah-olah aku membaca dan bukan mendengarnya langsung :
Nantinya akan terasa seolah-olah aku tak pernah ada.

Aku membohongi diri sendiri dgn membagi alasan kedatanganku ke sini menjadi hanya dua bagian. Aku tak mau mengakui motovasi terbesar. Karna secara mental itu tidak sehat.

Sebenarnya, aku hanya ingin merasakan dia ada disini, di tempat terakhir kali dia berbicara padaku. Seperti munculnya semua kenangan itu, aku bisa mengingatnya tanpa merasa sedih. Tapi itu tidak bertahan lama, kepedihan itu kembali menyerangku.

Aku berbalik memunggungi kekosongan yg menyayat hati dan bergegas pergi. Hampir saja aku berlari. Aku ingin secepatnya pergi dari sini, kembali ke dunia manusia. Aku merasa diriku hampa saat ini.

Semua ini seperti deja vu, aku memulai semuanya dari awal lagi. Rasa sakit, kepedihan, kenangan, dan semua itu bagai episode berulang. Tapi aku tak begitu yakin kali ini akan ada harapan, cahaya, kepakkan sayap lain yg akan membawaku terbang tinggi.


*****
Deja Vu Hati

Selasa, 19 Juli 2011

Elang Di Ujung Pelangi (chapter 1)

Elang menghela nafas dalam-dalam.

"Pelangi, aku akan pergi."

Aku juga menghela nafas dalam-dalam. Ku sangka aku sudah siap. Tapi tetap saja aku bertanya.

"Kenapa?"

"Aku gak baik buat kamu, La."

"Jangan konyol." Aku ingin terdengar marah, tapi kedengarannya malah seperti memohon. "Kamu hal terbaik dlm hidupku."

"Tapi kamu bakal terus menderita karna aku." ucap Elang muram.

"Kamu udah janji, kalo kamu akan slalu ada buat aku."

"Sepanjang itu yg terbaik buat kamu," Elang nmenegaskan kalimatku.

Sunyi sejenak saat aku mencerna semua kata-katanya, dan mengulangi kata-kata itu berkali-kali dlm pikiranku, memilah-milih untuk mendapatkan maksud sesungguhnya.

"Kamu...udah gak mau....sama aku kan?" Aku mencoba mengucapkan kata-kata itu, bingung mendengarnya di ucapkan dlm urutan seperti itu.

"Gak."

Ku tatap matanya, tak mengerti. Elang balas menatapku tanpa ampun, keras dan sangat dalam.

"Oke, itu udah ngerubah semuanya." Aku terkejut mendengar nada suaraku yg kalem dan tenang. Pasti karna perasaanku sudah mati rasa. Aku tak menyadari apa yg dia katakan padakj. Itu masih tetap tak masuk akal.

Elang mengalihkan pandangannya dariku saat berbicara lagi. "Tentu aja, aku akan slalu sayang ama kamu...sedikit-banyak. Tapi kejadian semalem itu ngebuat aku sadar, kalo aku cuma bisa bikin kam kecewa ama semua sikap aku. Aku cape harus pura-pura jadi sesuatu yg bukan aku, La." Elang menatapku lagi, "Aku ngebiarin ini berlangsung terlalu serius dan aku minta maaf utk itu."

"Jangan." Suaraku sekarang hanya berupa bisikan, kesadaran mulai meresapiku, menetes-netes bagai asam dlm pembuluh darahku. "Jangan ngelakuin ini."

Elang hanya menatapku, dan kelihatannya dari matanya kata-kataku sudah terlambat. Dia sudah melakukannya.

"Kamu gak pantes buat aku, La." Elang membalikan kata-kata yg diucapkannya tadi, jadi aku tak bisa membantahnya. Aku tau benar aku tidak pantas baginya.

Aku membuka mulut utk mengatakan sesuatu, kemudian menutupnya lagi. Elang menunggu aku berkata sesuatu, dan ku coba sekali lagi membuka mulutku.

"Kalo...kalo emang itu yg kamu mau"

Elang mengangguk satu kali.

Sekujur tubuhku terasa lumpuh. Aku tak bisa merasakan apa-apa di tubuhku.

"Tapi aku mau minta sesuatu, kalo boleh," kata Elang.

Sementara aku menatapnya, mata beku Elang mencair.

"Jangan lakuin sesuatu yg ceroboh atau tolol," perintahnya tak lagi dingin. "Kamu ngerti?"

Aku mengangguk tak berdaya.

"Dan jaga diri kamu baik-baik, demi aku."

Lagi-lagi aku mengangguk. "Oke." bisikku.

"Dan aku akan berjanji ini terakhir kalinya aku ketemu kamu. Aku gak akan kembali. Aku gak akan nyusahin hidup kamu lagi. Kamu bisa ngelanjutin hidup kamu tanpa gangguan dari aku lagi. Nantinya akan terasa seolah-olah aku gak pernah ada."

Lututku mulai gemetar. Bisa ku dengar darah mengalir lebih cepat di belakang telingaku. Dan suara Elang terdengar semakin jauh.

Elang tersenyum lembut. "Gak usah takut, aku yakin kamu pasti jauh lebih baik tanpa aku. Hanya butuh beberapa waktu aja."

Elang mundur selangkah menjauhiku, dan menghilang. "Slamat tinggal, pelangi."

Dia sudah pergi.
Cinta, hidup, makna... berakhir.
Aku merasakan lantai kayu halus di bawah lututku, lalu telapak tanganki, kemudian menempel di kulit pipiku. Aku berharap bakal pingsan, tapi sayangnya, ternyata aku tidak kehilangan kesadaran. Gelombang kepedihan yg tadinya hanya menerpaku kini menerjang tinggi, menggulung kepalaku, menyeretku ke bawah.
Aku tak muncul lagi di permukaan, hilang bersama sejuta kepedihan.


*****
Pelangi Yang Tak Lagi Berwarna

Masih Untukmu, Bintang Di Ujung Pelangi

Mengangkatku tinggi, lalu menjatuhkannya lagi

Menjahit luka yg berdarah-darah, namun pada akhirnya kau juga yg merobeknya lagi

Luka itu belum cukup kering, dan kau menaburkan air garam di atasnya

Serpihan hati itu belum terbentuk sempurna, tapi kau pecahkan lagi

Aku hanya ingin bertanya beberapa hal saja,

Untuk apa kau menjahitnya?

kalau pada akhirnya kau juga yg merobeknya kembali

Apakah itu harga yg harus di bayar utk suatu kebahagiaan?

Tahukah kau?

Sepertinya aku merasakan sesuatu yg tak terjadi

Harapan, mimpi, dan janji itu

Menghimpitku di sudut hati ini



*****
2nd Sempember 2010

Untuk Bintang Di Ujung Pelangi-ku

....Karna hadirmu memberi ku alasan untuk bertahan hidup

Karna hadirmu mampu membuatku merasa perlu memberikan semua yg terindah untukmu



*****
1st Sempember 2010

Adakah Kau Percaya

Jika kau bertanya padaku

Adakah aku rindukan dirimu?

Dan aku menjawab,

"Aku rindu padamu..."

Adakah kau percaya?


Dan jika kau bertanya lagi padaku

Adakah aku menyayangimu?

Dan aku menjawab,

"Lihatlah pantai itu...

Tidak pernah ia menghilang,

Tetap teguh dan setia pada ombak,

Walau kadang rajuk dan hilang pasirnya,

Karna kasar dan ganasnya ombak,

Tetap setia tidak kemana-mana,

Begitulah sayangku padamu"

Adakah kau percaya?


Jika kau tanyakan lagi padaku

Adakah aku mencintaimu?

Dan aku menjawab,

"Coba tanya pada siang dan malam,

Tidak pernah ia melupakan antaranya,

Senantiasa mencinta hingga akhir dunia,

Cinta yg tak pernah jemu,

Begitulah aku mencintaimu"

Adakah kau akan percaya?



*****
18th of august 2010

Akulah Cintamu

ketika letihmu paksakan raga

tuk hentikan sandiwara cinta

ku hanya mendekat

dan coba usir pd dirimu segala penat


jika waktu tak memihakmu

tuk hentikan dan lepaskan bebanmu

aku ada tuk memeluk dgn sayang

ku disini coba tutupi segala yg kurang


kembalilah dlm kenyataan

kembalilah dlm pangkuan

kan ku usap penatmu

dan bersandarlah ke dadaku


ketika letihmu di ambang senja

bintang kan jadi saksi bercahaya

yg melihat kau dlm pelukku

dan sadarmu.. akulah cintamu



*****
12th of august 2010

Menemukanmu

aku tak pernah percaya

cinta sedahsyat gelombang pasang

menggulung dan meruntuhkan karang keangkuhanku

lalu aku bertemu engkau

dan diriku remuk tak berbentuk

rindu tak pernah bisa menunggu

aku lebih...

aku sangat...

bahkan terlalu...

menginginkanmu

lebih dari aku menginginkan dunia dan seluruh isinya

aku telah menemukanmu di antara keping cintaku yg pecah

hanya kau yg utuh

utuh untukku

izinkan aku menjadi hujan selamanya

karna cintaku bukan gerimis yg terputus

biarkan cinta kita melenyapkan segala batasan


*****
2nd of auguts 2010